acknowledge her weakness


Alasan Wiliam kemarin menolak tawaran Cerita, bukan hanya karena mempertimbangkan izin dari Tante Puisi, tapi juga karena hal seperti sekarang. Cerita yang tak mampu menjaga dirinya sendiri.

Meski dari awal sudah menebak kalau hal ini bisa terjadi, Wiliam tetap saja membiarkan gadis itu pergi sendiri. Alasannya karena ia tak ingin gadis itu kembali tersinggung. Kapok dengan diamnya Cerita berhari hari karena Wiliam menuduh gadis itu manja. Juga ingin membuktikan pada dirinya sendiri, kalau memang tak ada yang perlu dicemaskan dari gadis berumur nyaris 18 tahun keluar rumah sendirian.

Sialnya, Cerita malah membuktikan sebaliknya, ia hilang di tengah kerumunan dan tak bisa dihubungin. Yang pada akhirnya kembali membuat Wiliam dilanda cemas.

Lokasi vanue yang memang tak terlalu jauh dari sekolahnya, sangat menguntungkan Wiliam. hanya butuh beberapa menit, kini ia sudah tiba. Buru buru ia turun dari ojek online yang menghantarkannya, setelah melewati tikceting dan beberapa pos check di gerbang vanue, kini ia sudah berdiri di belakang ratusan orang yang menonton acara pensi ini.

Segera ia menerobos kerumunan, tak peduli berapa orang yang ia dorong, dan yang mencacinya, ia hanya ingin cepat cepat menemukan Cerita di tengah orang orang ini.

**

Cerita menegak sampai habis air mineral yang baru saja dibelikan oleh Wiliam. Kini keduanya berada di depan ruang medis, setelah Wiliam yang berhasil membawanya keluar dari kerumunan.

Di sayap kanan bagian tengah, Wiliam menemukan Cerita yang terdiam dengan mata berkaca kaca. Mata gadis itu sibuk menyapu sekitarnya, mencari keberadaan ketiga sahabat baiknya, yang sayangnya tak dia temukan. Sampai tiba tiba dari belakang, Wiliam meraih tangannya. Ia sempat tersentak kaget, nyaris berteriak, sebelum ia berbalik dan menemukan Wiliam. Dalam diam akhirnya ia mengikuti Wiliam, yang ternyata menuntunnya ke depan ruang medis.

Wiliam dari tadi masih memperhatikan Cerita dalam diam. Sejujurnya, isi kepala Wiliam kini sudah dipenuhi berbagai keresahannya. Namun, takut melakukan kesalahan yang sama, ia akhirnya memilih diam menahan semua khawatirnya.

“Wil…” Suara Cerita terdengar bergetar, membuat Wiliam langsung menoleh.

“Hp gue…” gadis itu terdiam beberapa saat, dengan jari yang bergerak gerak cemas. “Hp gue… hilang.”

Pundak Wiliam jatuh seketika.

Buruk.

Hal terburuk dari pergi tanpa izin, adalah ketahuan. Dan jika ponsel milik Cerita hilang, orang tuanya jelas akan menanyakan bagaimana ponsel itu bisa hilang, berakhir mereka akan mengetahui Cerita pergi ke pensi ini tanpa izin. Wiliam jelas bertanggung jawab atas perginya Cerita tanpa izin, karena Wiliam yang menyediakan tiket.

Cerita menunduk, kali ini, ia sadar karena keras kepalanya kini Wiliam akan kena getah juga.

Dari awal Wiliam sudah melarangnya ke sini, tapi karena Cerita yang keras kepala, ia tetap memaksa. Bahkan memberikan sebuah pilihan yang ia tau tak akan Wiliam tolak. Ia juga sudah berjanji akan menjaga dirinya, tapi nyatanya janji itu tak dapat ia tepati.

“Cerita” Wiliam terdengar putus asa. Cerita jadi semakin merasa bersalah. “Gapapa, nanti gue yang bilang ke nyokap lo. Ini salah gue, harusnya nggak usah ngasih tiket itu.”

“NGGAK!” elak Cerita cepat. “Lo dari awal udah nggak bolehin.” Gadis itu meneguk ludahnya kasar, “Ini salah… gue.” akunya dengan canggung. Cerita tak pernah mudah mengakui kesalahannya sendiri, adalah sebuah kalimat yang kembali harus di tekankan. Karena ia memang terbiasa dimaklumi dalam keluarganya, orang tuanya tak pernah benar benar menyalahkan gadis itu, ia juga tak pernah mau terima disalahkan, menjadikannya begitu egois dalam mengakui kesalahan.

Makanya, kata itu terasa asing bagi Cerita.

“Lo… bener… Gue masih terlalu manja.”

Wiliam mendongak, ingin segera meluruskan kalau ia tak pernah bermaksud mengatakan itu pada Cerita, namun, Cerita lebih cepat memotong.

“Mama yang terlalu khawatiran sama gue, emang bukan salah gue. tapi kalau aja gue lebih mandiri, mungkin kekhawatiran mama bakal… berkurang. Gue… emang belum sanggup… bikin mama berhenti khawatir.”

Wiliam diam, menunggu Cerita melanjutkan.

“Waktu tangan gue lepas dari Qila, gue nyaris nangis ketakutan.”

“Gue teriak, tapi kalah kenceng sama suara orang di sekitar gue. Gue… bener bener ketakutan, Wil… Gue linglung, ngeblank, gemeter. Gue nggak tau harus ngapain, gue diem bermenti menit kayak orang bodoh. Bahkan nggak nggak berani maju ke depan, pun mundur kebelakang. Gue terus diem di posisi gue, sampai sikutan dan geseran orang ngubah posisi gue.”

“Gue baru kepikiran buat nelpon temen temen gue, setelah berpuluh puluh menit kami kepisah. Waktu gue nyari HP gue, di situ gue sadar, HP gue hilang. Gue bener bener ngerasa bodoh banget.”

Cerita menunduk makin dalam, “Di moment itu, gue ngerti kalau gue emang belum sanggup buat jaga diri gue sendiri. Kalau gue masih belum bisa sendiri.”

Hening melanda.

Wiliam diam mencerna semua pengakuan tiba tiba dari Cerita.

Bertahun tahun mengenal Cerita, rasanya baru kali ini Cerita berani mengakui kelemahannya. Cerita yang Wiliam tau, akan selalu menampilkan kesempurnaannya, tak pernah mau terlihat lemah, apa lagi sampai ditatap prihatin. Gadis itu selalu angkuh, seolah tak membiarkan ada sedikitpun celah untuk orang lain menginjak injak harga dirinya.

Tapi sekarang, Cerita setuju dengan ucapan Wiliam kemarin. Ia bahkan mampu menjadikan sebuah pengalaman menjadi sebuah pelajaran.

Cemas Wiliam sedari tadi seolah menguap, tak ada lagi niatnya untuk menegur kelalian gadis itu, karena Cerita sendiri sudah mampu menyadarinya.

Wiliam tersenyum hangat, dengan tangan yang kini mengelus pelan rambut Cerita. “Nggak, gue nggak bener, cara gue nyampein tetep salah. Tapi barusan keren, gue tau ngakuin kelemahan sendiri pasti susah.”

Cerita sempat tersentak ketika merasakan sentuhan lembut pada puncak kepalanya, bersamaan dengan itu, degupan jantung yang entah kenapa berdebar tak biasa.

Ia jadi membisu bingung ingin merespon apa.

“Tapi, Cer,”

Cerita menoleh.

“Tau nggak apa yang lebih keren dari mengaku?”

Gadis itu menggeleng polos.

“Belajar dan berubah. Sekarang lo mau ngubah kelemahan lo itu nggak?”