Drive you home
“Setuju, alkohol cuman ngilangin kesadaran kita. Tapi yang bikin kita lepas bebas ya suasananya. Kalau lo mabok sama bokap nyokap lo, rasanya bakal beda kalau lo mabok sama temen.”
Tawa kecil meluncur dari Johnatan setelah mendengar perumpamaan yang Zetta barusan beri.
Perjalanan dari rumah Tenn yang berada di daerah Jakarta Selatan, menuju ke aparatement Zetta yang ada di Depok terasa jauh lebih cepat malam itu. Padahal Johnat sudah menurunkan kecepatan mobilnya. Entah karena jalan yang terlalu lancar atau karena tanpa sadar mereka larut dalam obrolan panjang, keduanya sampai tak sadar kalau satu tikungan lagi mereka akan memasuki wilayah apartement Zetta.
“Lo pernah ketahuan mabok?” sejak tadi, secepat ini Johnat bisa mengubah obrolan namun tetap terasa mengalir. Zetta yang awalnya malas berbicara, bisa dibuat banyak omong oleh Johnatan.
“Pernah sekali gue get wasted pas mabok sama school mates, mereka juga pada mabok. Akhirnya gue pulang dianterin sama acquaintance, dia liat ktp gue, terus diantar ke rumah gue pas ada nyokap bokap.”
Johnat nampak begitu tertarik pada cerita Zetta, ia melirik gadis itu antusias, “Terus reaksi mereka gimana?”
Binar mata Johnat membuat Zetta tertawa geli, padahal cerita aslinya begitu menyayat hati, tapi jadi terasa lucu tiba tiba.
“Ya ngamuk lah, gue dipukul.”
Johnat membelalak, “Asli? Kenceng gak?”
Dari tatapan kaget itu, Zetta kira Johnat akan membelanya. Tapi pertanyaan bodoh itu yang malah keluar, membuat Zetta mendesis sinis.“Ya lo maunya kenceng?” tanpa sadar ia memukul lengan Johnat, melampiaskan kekesalannya pada cowok itu.
Johnat tertawa, “Tapi menurut gue, nyokap bokap lo emang berhak marah.”
Berbicara dengan Johnatan nyaris tiga puluh menit, Zetta kini paham, kenapa banyak perempuan yang akhirnya jatuh pada pesona Johnatan. Bukan karena ucapan cowok ini manis, bukan kata-kata puistis, bukan kalimat menggoda, bukan juga paragraf penuh pujian. Dia hanya mengutarakan sesuai dengan yang diharapkan. Tak melebihkan, hanya terus berusaha agar lawan bicaranya merasa nyaman.
Zetta biasanya tak suka orang tuanya-apa lagi Papa-mendapat pembelaan, tapi kali ini, ia mendudukan diri dengan nyaman menunggu Johnat mengutarakan pemikirannya.
“Mereka masih dalam pemikiran, kalau mereka kerja keras itu bukan cuman nyekolahin otak lo, tapi juga sikap lo. Dan pulang pagi dalam keadaan mabok, bukan termasuk sikap yang benar. Ya, mungkin mereka merasa betrayed?”
Zetta mengangguk membenarkan, “so you justify child abuse?”
“Ya enggak,” Johnat kini menarik rem tangannya, seiring dengan mobil yang berhenti tepat di pintu masuk apartement. “Gue bilang mereka berhak marah, bukan berhak mukul lo. Tetap salah cara mereka melampiaskan marahnya.”
Zetta mengangguk lagi, kali itu lebih mantap. “Right.” Zetta melepas sabuk pengamannya, kemudian menatap Johnat dengan senyum terbaiknya. Kaylie mungkin akan memukulnya kalau tau sekarang Zetta merasa Johnat bak sebuah sinar dalam malam gelapnya. Tapi apapun yang akan terjadi setelah ini, dia tetap akan bersyukur malam ini Johnat sudah tanpa sadar membantunya.
“Johnatan, Thank you buat tumpangan, dan obrolannya.”
Johnat balas dengan senyum tak kalah manis, matanya bahkan sampai menyipit. “Sama sama, Clazetta.”
Zetta melangkah keluar dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, dan Johnatan di balik kemudi menatapi punggung itu sampai pintu mobilnya yang kembali tertutup.
Kaca mobil Johnat turun, menapilkan kembali Zetta di pandangannya. “Hati hati di jal—”
Kalimat itu berhenti tiba tiba dengan wajah Zetta yang memucat pasih. Tanpa sepatah kata apapun gadis itu berlari menuju ke pintu utama aparatementnya dengan tergesa gesa. Johnatan yang tak tau apa yang terjadi, mengikuti pergerakan gadis itu.
Sampai mata mebelalak melihat seorang lelaki dengan seragam SMA dan wajah lebam kini memeluk Zetta erat.
Tanpa pikir panjang Johnatan turun, nalurinya seakan merasakan ada yang harus ia lindungi.
***
Sean Johnatan
Gue pernah ikut boxing waktu SMA. Tapi gak bertahan lama, karena ketahuan bokap. Bokap gak pernah setuju gue ikut kegiatan kegiatan di luar pelajaran sekolah. Dia cuman mau gue fokus sama belajar gue, dan bisa melanjutkan bisnis dia.
Tapi meski sebentar, gue rasa gue masih cukup mumpuni menerapkan beberap hal yang sempat gue pelajari di sana. Juga, tubuh gue yang bisa dibilang kayak raksasa ini biasanya bakal bikin lawan gue ciut duluan.
Jadi gue gak pernah takut buat bertarung.
Mungkin hal itu juga yang bikin gue malah memarkirkan mobil di depan apartement Zetta sembarangan, lalu turun dan menghampiri Zetta beserta anak cowok berseragam SMA yang mukanya babak belur itu.
Gue si petarung ini, merasa mau mukulin siapapun yang sudah bikin bocah SMA itu jadi sehancur ini.
Gue menghampiri mereka dengan wajah panik, tapi belum sempat gue bertanya ada apa, suara pilu dari cowok yang kini menangis di pelukan Zetta membuat gue membatu.
“Aku berhasil ngelindungi mama…” “… dari pukulan papa.”
Bahkan gue yang dicap gak punya hati, merasa patah hati kini.