First date


Sean Johnatan.

Gabriella Clazetta, lucu kalau marah.

Mungkin banyak orang yang udah mengenal Zetta akan menentang. Bahkan gue yakin, dia sendiripun nggak akan suka gue sebut lucu.

Bilanglah gue gila, tapi mungkin begitu adanya. Karena ada hal yang rasanya menyenangkan, melihat dia dengan alisnya yang menekuk nyaris bertautan, matanya menyipit sewaktu bibir ranumnya meluncurkan kalimat kasar, pipinya sesekali mengembung mirip balon yang siap meletus, juga, anak rambutnya yang jatuh ke depan terus menerus.

Man, kalau ini bukan lucu, gue nggak ngerti harus jelasin gimana lagi. Daripada takut pada wajah galak dan ucapan kasarnya, gue malah tertawa dalam hati dan menanggapi semua ocehan dia dengan senyum lebar.

“Gue paling gak suka sama sesuatu yang berlebihan. Kayak gak ada cara lain aja, kesel gue.”

Tadi setibanya kita di tempat makan yang gue mau, kita langsung menuju kasir untuk memesan makanan. Bersamaan dengan sepasang kakek nenek yang berdiri di belakang kita. Sewaktu pesanan kita sudah selesai, dan kita berbalik untuk mencari tempat duduk, tiba tiba ada kejadian aneh dari pasangan di belakang kita.

Hidung si kakek patah.

Zetta menjerit, gue juga sempat terperanjat. Sampai gue sadar itu hidung buatan, dan kakek kakek itu adalah Jeffryan! Iya, Jeffryan Giovanno. Di saat bersamaan, Zetta juga tersadar. Setelah itu dia kelihatan marah dan pergi gitu saja.

Gue nggak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Cuman daripada minta penjelasan, gue lebih memilih mengejar Zetta yang sudah duduk di kursi paling pojok ruangan.

Dari tadi dia cuman ngomel sambil sesekali mengetik di poselnya. Gue nggak berani bertanya, takut dia merasa gue mau ikut campur, lagi. “Sumpah ya anjing,” jeda, dia menyantap sesendok daging sapi lengkap dengan sausnya yang melumer. “Gue mau marah. Lebay banget.”

Zetta kelihatan nggak sadar kalau saus dari daging tadi jatuh di lengan bajunya. Gue ketawa entah keberapa kalinya. Dia masih terus ngomel dan gue nggak mau menginterupsi. Jadi gue langsung ngambil dua lembar tisu, meraih tangannya, dan memberishkan legan bajunya.

Gerakan juga ocehan Zetta berhenti, dan pasti itu karena gue. Tapi gue gak merasa ada yang salah dari tindakan-sangat-baik-membersihkan lengan baju seseorang, jadi gue tetap diam dan berusaha fokus pada noda di lengannya.

Setelah selesai, gue menoleh, menatap Zetta. Gue pikir dia akan tersentuh dengan tindakan gentleman yang barusan gue lakukan. Tapi, begitu melihat tatapan sinisnya, gue tersadar daripada tersentuh, tatapan itu lebih menunjukan keinginan Zetta memukul gue saat itu juga.

“Kenapa, Zet?” Tanya gue santai.

Dia menarik matanya ke atas, “Makasih.” Lanjutnya dengan nada ketus.

“Baper ya?” gue jelas tau jawabannya enggak. Cuman, lihat muka dia sekarang, kalau ini di film animasi mungkin asap udah keluar dari telinganya. Lagi, Zetta lucu kalau marah.

“Lo jangan bikin gue tambah emosi.”

“Oh, lo lagi emosi?”

Mata Zetta membulat, mungkin nggak percaya sama apa yang dia dengar. “Lo masih nanya?”

“Lo gak ngasih tau gue?”

“Jadi dari tadi gue ngomel ngomel menurut lo lagi apa? Doa sebelum makan?”

Gue mengedikan bahu tak acuh, “Gue gak ngerti aja, apa yang bikin lo marah? Kalau karena Jeffryan, bukannya itu lucu?”

“Dia nguntitin gue, itu lucu?” suara Zetta terdengar meninggi, tapi nggak mengusik gue sedikitpun.

Gue tetap membalas dia dengan tenang, “Lo tau dari mana dia nguntitin lo? Siapa tau dia emang cuman mau nyamar aja. Gue malah kepikiran dia mau bikin channel Youtube yang isinya social experiment.”

Zetta mengangga, mungkin takjub dengan pemikiran jangka panjang gue. “Wah…” dia kehabisan kata.

“Impressed?”

Wajahnya masih sama, bahkan sekarang nampak jauh lebih marah. Dan itu yang gue harapkan.

“Lo nyebelin, tau gak?” Dia menyandarkan tubuhnya dengan tangan dilipat di depan dada, menatap gue jengah. Bossy.

Gue gak menyerah, gue malah mendekatkan bangku gue pada meja, lalu memajukan badan gue, hingga jarak kita semakin dekat. “I’m complimenting you.”

“Thank you, tapi gue gak ngerasa dipuji.”

“Jadi lo mau gue puji dari hati banget?”

Zetta mengangga lebar dengan wajah kesalnya, dia sudah menegakkan badannya sekarang, “Stop”

Gue manarik badan gue untuk duduk bersandar, gue nggak perlu lagi buat meneliti satu persatu yang dia pakai, karena sejam mentapi dia udah membuat gue cukup hapal penampilan dia saat ini.Jadi hal yang mudah buat gue memuji dia saat ini juga.

“Gue suka cincin lo, gak terlalu besar, tapi cukup bikin jari jari kelihatan manis.”

“Gue bakal nendang lo, kalau masih lanjut.”

“Bulu mata lo lentik, bikin mata hitam pekat lo makin cantik.”

Zetta memperagakan gerakan muntah, “Ew.”

“Gue juga suka—“

“Stop, lo budeg y—“

“Tai lalat di hidung lo.”

Kemudian, tiba tiba aja dia diam. Gue menaikan sebelah alis gue.

Gue bukan tanpa sebab dipanggil buaya darat. Ada banyak hal dari cewek cewek yang gue mengerti, salah satunya, gimana perasaan mereka akan meleleh pada perhatian-perhatian kecil. Gue kira hal ini nggak akan berlaku buat cewek galak yang selalu berusaha kelihatan nggak tertarik sama gombalan buaya, tapi melihat dia yang terdiam dengan mata mengunci tatapan gue, gue sadar dia juga tetap cewek.

Dia berdehem singkat, kemudian kembali menatap gue. “Makasih banyak.” Ucapnya tegas dengan tatapan berusaha mengintimidasi gue. “But you really really have to stop it.”

Marah lagi dong.

“Kalau gue gak mau?”

Dan Zetta kelihatan kembali marah.

“Gue bakal beneran nonjok lo,” Zetta nggak bercanda, dia udah siap melipat lengan bajunya, bahkan bangkit berdiri. “Gue sabuk merah taekwondo, jadi gak usah takut buat mukul balik.”

Tawa gue yang dari tadi gue tahan dalam hati, menyembur keluar.

“Sinting ya lo? Gue ngajak ribut, bukan lagi stand up comedy!”

Gue susah payah menahan tawa gue melihat betapa lucunya Zetta saat ini. Di sela tawa gue, gue berusaha meraih tangannya, lalu menariknya untuk kembali duduk.

“Apaan sih! Jangan pegang pegang!” tangan gue dihempas begitu saja setelah ia kembali duduk.

Setelah berhasil menahan tawa, gue menatap dia dengan wajah sumringah, dan mendapati wajah kesal dan tertekuknya. “Emosian banget.”

“Emang!” balas Zetta secepat kilat lalu memukul lengan gue dengan kencang. “Udah berapa kali gue bilang! Makanya gak usah deket deket gue.”

Tapi, Zet, ada kepuasaan yang gue rasa tiap kali berdebat sama lo yang galak dan punya kesabaran tipis ini. Gue merasa puas melihat wajah lo yang memerah menahan marah itu, tatapan geram itu, balasan balasan ketus itu, bahkan ketika lo melayangkan pukulan itu.

Bilanglah gue gila, tapi mungkin begitu adanya. Karena gue suka melihat lo yang marah, dan gue memutuskan untuk mencari segala cara biar lo marah lagi.

“Lo pernah makan nasi goreng di thamrin?”