First Date pt.2
Gabriella Clazetta.
Gue tegasin, gue menolak menebak.
Tapi gue juga gak bisa mengelak, ada kalanya di luar kuasa gue sendiri, otak gue menciptakan tebak tebakan. Menebak hal hal yang belum gue ketahui. Dan kemudian, kecewa.
Sama seperti ketika gue mendengar nama ‘Thamrin’ keluar dari mulut Johnatan, di luar kuasa gue, gue menebak restoran mahal berbintang lima yang mana akan Johnatan tuju. Bukannya gue berharap Johnatan akan membawa gue ke tempat mahal. Cuman, Thamrin dan kemewahan adalah pasangan serasi yang selalu bersama. Makanya tebakan pertama yang gue pikir cuman soal restoran bintang lima.
Gue nggak kepikiran sedikitpun kalau Johnat yang sekarang sedang memesan nasi goreng pinggir jalan, mengajak gue makan di sidewalk persis di samping lampu lalu lintas.
Gue nggak kecewa, tapi bingung. Gue diam, mencoba mencerna. Gini, kita baru selesai makan, dan kenapa kita harus makan lagi? Dan dari banyaknya tempat makan di Thamrin kenapa harus di pinggir jalan? Kenapa harus tepat di hadapan macetnya lampu merah? Semakin gue pikirin, semakin gue merasa… ada yang aneh sama Johnatan.
Ini hanya tinggal beberapa jamkan? Setelah ini mungkin kami nggak akan pernah mengobrol lagi. Urusan gue sama Johnat selesai. Gue hanya perlu bertahan beberapa jam lagi untuk keanehan cowok satu ini.
“Nih”
Johnat datang dengan dua piring nasi goreng di tangannya, lalu tanpa permisi duduk di samping gue.
“Makasih.” Gue meraih piring dari tangan Johnatan, meletakannya di atas paha gue. Belum punya niat untuk memakannya, bahkan perut gue masih terasa kenyang.
Beberapa menit kita nggak punya obrolan, karena Johnatan yang sibuk menyantap nasi gorengnya, dan gue diam menatapi mobil yang berlalu lalang.
“Tebak, ada berapa penumpang di mobil merah ono.”
Gue menoleh sekilas pada Johnatan, dia kini menunjuk lurus tepat pada mobil merah yang berhenti karena lampu lalu lintas. Gue nggak mengerti ke mana arah obrolan ini, dan gue juga nggak tertarik buat tau. Makanya gue cuman jawab seadanya, “Tiga kali.”
“Pasti salah.” Jawab Johnat percaya diri. “Pasti lima.”
Tanpa sadar gue menoleh remeh, “Gak udah sok tau.”
“Mau gue buktiin?” Johnatan menatap gue menantang. “Kalau gue bener, lo turutin tiga kemauan gue. kalau lo yang benar sebaliknya.”
Gue mendengus. Aneh, kekanak kanakan, gue heran kenapa modelan gini yang jadi buaya. Sebuta apa cewek cewek yang mau sama dia?
“Deal, gak?” tangan Johnat terulur di hadapan gue.
Tapi gue gak tertarik sedikitpun, gua nggak mengacuhkannya.“Gue bukan jin.”
“Takut kalah ya?”
Cukup dua kali ketemu Johnatan, gue udah tau kalau dia selalu maksa. Dia gak bakal berhenti sampai gue menuruti kemauannya, persis kayak Jeffryan. Dan gue terlalu malas buat omong kosong kayak gini.
“Satu aja permintaannya. Deal.”gue menjabat tangannya, menutup perjanjian bodoh itu tanpa mau diinterupsi.
Johnat juga terlihat terima saja. Setelah melepas jabatan tangan kita, dia bangkit berdiri. Gue menatap dia bingung, namun belum sempat gue melontarkan pertanyaan, dia udah lebih dahulu melangakah.
Berjalan lurus menuju ke jalan raya.
Gue bisa lihat kalau tujuan dia lurus tepat pada mobil yang sebelumnya kita bicarain. Gue udah hampir bangkit meneriaki dia, sebelum dari kejauhan gue lihat dia mengetuk jendela mobill tersebut lalu berbicara dengan orang yang ada di dalamnya.
Si licik satu itu, sengaja mengetuk pintu bagian tengah, dari jauh gue bisa melihat ada tiga orang yang duduk di tengah, dan pastinya ada dua orang di depan. Jadi total semua penumpangnya ada
“Lima.”
Gue kalah.
Entah apa yang dia bicarakan di sana, tapi gue lihat sebelum dia berbalik, dia sempat menutup penutup tangki mobil tersebut yang sedari tadi terbuka. Lalu, dia berlari kembali pada tempat duduk kami dengan senyum sumringahnya.
“Gue bener.”
Kalimat pertama yang dia lontarkan setelah kembali duduk di samping gue.
Emosi gue memuncah, gue emang susah menutupi rasa kesal, apa lagi ketika dengan sengaja emosi gue dipancing. Wajah gue menekuk, dan melipat tangan dengan kasar. “Lo ngapain sih anjir tadi?”
Johnatan masih senyum, sambil menggeleng. “Enggak, itu gue cuman mau bantuin dia nutup tangki mobilnya aja. tapi biar gak dikira ngerusak mobilnya, ya gue ijin dulu bantuin.”
Seakan semua kosa kata yang gue punya hilang tiap kali mendengar pemikiran Johnatan.
“Sekarang turutin kemauan gue.”
“Apa mau lo?”
“Ajarin gue ngepang rambut.”
Ada beberapa detik hening di antara kita, detik detik di mana gue berharap dia akan menyengir—seperti yang dia lakukan sepanjang hari ini, lalu mengatakan kalau dia hanya bercanda.
Tapi kemudian kalimat yang keluar malah, “Di sini aja belajarnya, minjem rambut lo.”
Hal yang setelahnya terjadi adalah badan gue yang masih belum bergerak Johnat putar hingga menghadap ke samping, gue juga bisa merasakan gerakannya membagi rambut gue.
Gue harusnya bisa menolak, tapi gue memilih tetap diam. Gue hanya diam ketika jemarinya perlahan menelusuri tiap helai rambut gue, ketika dia menggerakan kepala gue dengan lembut, ketika dia bertanya apa gue merasa kesakitan.
Gue kehilangan kendali. Kehilangan kendali atas suara gue yang nggak bisa nolak, atas pergerakan tangan gue yang nggak bisa mendorong dia, atas perasaan gue yang bodohnya… menyukai keadaan ini.
Keadaan di mana, ada gue dan Johnatan di antara padatnya manusia mengantre di bawah lampu lalu lintas. Ada gue dan Johnatan di antara orang yang berlalu lalang. Ada gue dan Johnatan di antara debu debu yang keluar dari kendaraan. Ada gue dan Johnatan di antara gelapnya malam dan terangnya lampu jalanan.
Keadaan di mana, ada gue dan Johnatan yang duduk bersebelahan tengah belajar mengepang.