Gabriella Clazetta

Ada banyak hal di dunia ini yang gue gak bisa tebak. Dan gue cukup malas menebak nebak hal yang gak pasti. Masalahnya, tiap kali gue berusaha menebak gue bukannya menebak dengan benar, malah menciptakan ekspetasi ekspetasi tinggi, membuat sebuah harapan, dan berangan tebakan paling hebat. Yang kemudian dipatahakan gitu aja oleh dunia jahat.

Waktu gue kecil, gue selalu menebak nebak jam berapa tepatnya Papa akan menjemput gue dari sekolah. Gue selalu menebak pukul 11—tepat pulang sekolah. Namun ternyata sampai jam 2 siang Papa tak muncul. Berakhir guru gue bakal manggil Mama, atau mereka yang mengantarkan gue pulang.

Gue waktu itu gadis naif yang berusaha mengerti kesibukan Papa.

Setelah tak pernah dijemput, gue malah menebak hal lain. Saat pengambilan rapot, gue menebak kalau Papa akan menunjukan wajah bahagianya melihat nilai nilai gue yang nyaris sempurna. Namun, hari itu, Papa bahkan tak memunculkan batang hidungnya di sekolah gue.

Sekali dua kali tebakan gue salah, gue masih merasa itu hal biasa.

Kemudian di lain kesempatan saat pertama kali gue tampil teater, gue kembali menebak. Di bangku sebelah mana Papa, Mama dan Jio akan duduk. Kala itu tebakan gue, mereka berada di bangku paling depan, dengan banner nama gue dan kamera Papa yang akan merekam gue di atas panggung. Namun, setelah nyaris sepuluh kali menyisir tiap sudut di gedung tempat gue tampil, yang gue temui cuman Jio yang duduk di barisan tengah bersama beberapa temannya. Gue masih belum mau menyerah menebak sampai tebakan gue benar.

Kali itu hari paling berharga buat gue, ulang tahun ke 17. Sebenarnya, kala itu kepercayaan gue sudah sangat menipis. Tapi gue rasa Papa tak mungkin sejahat itu akan melupakan ulang tahun putri pertamanya. Jadi gue kembali menebak, hadiah seberharga apa yang akan Papa beri untuk ulang tahun gue ini.

Dan seperti paragraf lainnya, Papa kembali memberi namun pada tiap harapan yang gue taruh padanya.

Papa memang tak melewatkan ulang tahun gue. Namun, Papa menghancurkannya.

Dia datang dalam keadaan mabuk, menghancurkan kue ulang tahun gue yang Mama buat. Merobek semua hiasan ulang tahun yang sengaja Jio persiapin buat gue.

Menghancurkan gue dan tebakan bodoh gue.

Dengan hadiah yang paling menyakitkan itu, gue memilih untuk berhenti menebak. Berhenti menaruh ekspetasi dan berhenti membuat harapan palsu. Pahitnya kenyataan membuat gue merasa lebih baik dikejutkan oleh rencana semesta, daripada disakiti oleh ekspetasi.

Papa pulang.

Gue tersenyum getir lalu kembali meneguk segelas minuman keras di tangan gue.

Gue sudah gak punya tebakan apa apa lagi, harusnya gue gak merasa sakit, ‘kan?

Pertanyaan gue menggantung di sana, bukan karena gak punya jawaban. Tapi karena gue gak mau mengakui, kalau nyatanya sekarang seluruh otak gue di isi dengan nama Papa, perasaan gue yang seperti dihujam oleh pisau tajam, dan air mata gue yang sudah membendung ingin keluar.

Gak. Gue gak bakal menangisi bajingan, yang sialnya orang tua gue sendiri.

Gue mendongkak, menahan apapun yang ingin keluar dari mata gue.

“Zet”

Gue menoleh sedikit kaget. Mendapati Jeffryan yang sudah mendudukan diri di samping gue.

“Napa lo?”

Jeffryan nampak beda, cowok yang biasanya gangguin gue dengan suara cemprengnya, sekarang bertanya dengan nada paling jarang gue dengar. Tegas dan lembut. Tapi itu gak membuat gue nyaman sedikitpun. Gue kini memutar badan, menoleh ke kanan dan kiri melihat keadaan di sekitar gue.

Selain benci menebak, gue juga benci jadi pusat perhatian. Dan duduk bersama pangeran FISIP berduaan artinya gue baru aja mancing perhatian orang.

“Pergi gak lo!” usir gue tanpa menjawab pertanyaannya.

Jeffryan seperti tak menghiraukan muka panik gue, si kampret satu itu kini malah menyenderkan tubuhnya pada sandaran bangku. “Kata Kaylie lo gak jadi dateng? Terus ngapain di sini?”

“Berubah pikiran.” Jawab gue sekenanya. “Lo bisa pergi sekarang, gak?” tanya gue gak sabaran.

Sekarang banyak cewek cewek yang gue rasa adalah korban PHP Jeffryan ngelirik ke arah gue dengan tatapan ganas. Ini juga yang jadi alasan gue sama Kaylie milih buat jauh jauh dari Jeffryan saat di lingkungan kampus.

Kami terlalu malas berurusan sama kelakuan buaya Jeffryan.

“Berubah pikiran kenapa?”

“Jeff! Sumpah, ya! Pergi gak!” Suara gue meninggi.

Jeffryan nampak menghela napas keras, sebelum bangkit berdiri. “Gue bakal beneran pergi, kalau lo pindah ke meja Joy. Jangan sendirian di sini.”

Joy, salah satu temen gue di BEM yang kebetulan hari ini ada di acara ulang tahun Tenn juga.

Gue sebenarnya malas untuk bangkit berdiri, apa lagi harus meninggalkan satu satunya tempat sepi di rumah Tenn ini—karena nyaris setiap sudut sudah disulap jadi seperti klub. Tapi Jeffryan itu keras kepala, menentangnya hanya membuat semakin banyak mata yang memperhatikan kami.

Jadi dengan malas gue ikut berdiri lalu berjalan lebih dahulu menuju meja Joy.