Hadiah


Wiliam pernah tau bagaimana rasanya memiliki keluarga yang sempurna.

Wiliam selalu ingat bagaimana dulu dia begitu membanggakan keluarganya pada semua orang. Wiliam ingat pernah menyebut, Papa adalah seorang ayah yang pekerja keras dan mampu mengayomi keluarga. Mama adalah ibu tanguh yang selalu mendampingi tiap anggota keluarga. Wiliona, kakak yang ceria dan amat menyanyangi Wiliam. Dan terakhir Wiliam sendiri, si bungsu penurut.

Wiliam masih ingat dengan jelas masa ketika keempatnya hadir untuk saling melengkapi. Menciptakan hangat yang hanya dapat mereka rasakan. Meski tiap pagi terdengar teriakan mama membangunkan seisi rumah. Meski tiap pagi terdengar keluhan Papa yang tengah kesusahan mencari barang barangnya. Meski tiap pagi terdengar langkah kaki tergesah gesah karena kakak telat bangun. Dan meski Wiliam hanya duduk menyaksikan pagi yang penuh dengan hingar bingar. Semuanya tetap terasa hangat. Keluarga kecil mereka tetap terasa sempurna bagi Wiliam.

Walau hanya sementara.

Bahagia sementara yang terasa begitu lama. Hanya sampai umur 13 tahun Wiliam diizinkan merasakannya. Lalu lima tahun berikutnya atau mungkin untuk enam tahun sampai sepuluh tahun berikutnya, Wiliam hanya bisa meratapinya.

Tapi Wiliam punya hati lapang. Ia tetap mensyukuri apa yang pernah ia miliki, tak pula membenci dan lebih sering mengampuni meski yang menyakitinya tak pernah mengobati.

Satu satunya yang Wiliam tak sanggup lakukan hanya melupakan.

Kenangan sekecil apapun bagi Wiliam berharga. Ia akan mengenang sekecil apapun kenanganan berharga itu. seperti sarapan paginya yang dahulu. Bahkan sesakit apapun juga tak lantas ia lupakan. Wiliam tetap mengingat semua rapi, termasuk luka di pagi bulan agustus itu.

Pagi pertama Wiliam memasuki sekolah menegah pertamanya, dan pagi pertama Wilona menjadi seorang mahasiswa. Sarapan pagi harusnya selalu indah bagi keluarganya. tapi hari itu, pagi yang diharapkan penuh kebahagian, ternyata malah penuh teriakan.

“Kakak, kamu Papa jodohkan.”

Begitu cara Papa menghancurkan masa depan putri sulungnya. Juga keluarganya. Papa perlakukan putrinya seperti alat bisnis. Ia jadikan putrinya yang ia sebut paling ia sayangi jadi penopang usahanya.

Kalau saja Papa mau paham, teriakan histeris Wilona dan pukulan keras gadis itu ke meja adalah sebuah bentuk penolakan. Mungkin semuanya selesai.

Namun, Papa seolah tutup mata. Wilona perlu angkat kaki dari rumah dan menghilang seolah tertelan dunia, baru Papa mulai tersadar kalau ia salah.

Lalu ketika semua sudah telah terlambat. Ketika hasilnya hanya sia sia. Papa baru menyesal dan mencari. Pencarian yang jadi kehilangan bagi Wiliam. mereka mencari, Wiliam ditinggal sendiri menanti.

Wiliam pernah menunggu. Wiliam pernah berharap keluarga hangatnya kembali, William pernah berharap semua ini hanya sebuah mimpi buruk yang panjang. Nanti ia akan bangun, dalam pelukan hangat keluarganya.

Sampai Wiliam kecil yang begitu naif ditampar kenyataan, ia tak pernah tertidur, semua yang sudah terjadi bukan mimpi semata.

Semua sudah tersurat dalam garis takdir keluarganya yang tragis. Menerima kenyataan sepahit itu tak pernah mudah bagi Wiliam. Ada masa ketika Wiliam menumpahkan air matanya nyaris tiap hari. Tapi tak pernah ada yang menghapus air matanya. Semua air matanya terjatuh sia sia.

Setahun, dua tahun, tiga tahun, sampai lima tahun lamanya, Wiliam sudah tumbuh tanpa kehadiran keluarganya. kini tak ada lagi air mata, dikeringkan oleh rasa muak. Wiliam sempat berpikir bahwa ini akhir dari penantiannya. Ia tak akan lagi menunggu, jika memang semua orang pergi, ia juga akan ikut pergi.

Setidaknya itu hanya terbesit, lalu menghilang begitu saja malam ini. Wiliam mematung di tempat, langkahnya berhenti tepat di depan pintu masuk ruangan tertutup yang Cerita pesan. Air wajahnya yang biasanya kaku itu, nampak begitu terkejut, dengan mata melebar dan rahang yang terjatuh.

Cowok berjas rapi itu meneguk ludahnya kasar, lalu menggeleng, mencoba menormalkan dirinya sendiri dari terkejutannya yang tiba tiba. Kaki jenjangnya kini mulai memahat langkah, memasuki ruangan yang tadi sempat tertunda.

“Papah… Mamah…”