Daniel Sanjaya.
Dua minggu sebelum pertemuan Wiliam dan keluarganya, ada seorang Cerita yang memohon pada Papanya agar dapat menghubungi Papa Wiliam langsung.
Papa Cerita, Charil, awalnya menolak karena tau betul Daniel Sanjaya bukan orang biasa yang bisa dimain mainkan waktunya. Pria menginjak kepala lima itu tak pandang bulu, siapapun yang tak serius menghubunginya, tak akan mau lagi ditanggapinya.
Namun, anak sematawangnya juga bukan gadis yang pantang menyerah, apa lagi soal Wiliam. gadis itu merengek dari pagi dampai sore. Charil yang tau niat baik anaknya sebenarnyapun mendukung, hanya saja ia tak yakin, gadis 17 tahun itu bisa berkomunikasi baik dengan Daniel.
Pada akhirnya kemauan sang anak ia turuti, ia hubungi nomor Daniel, lalu ia serahkan ponselnya pada Putrinya. Sang putri sebenarnya meminta Charil untuk kembali ke ruangan pribadinya, agar sambungan telponnya tak terdengar.
Charil tak mungkin percaya begitu saja anaknya berbicara hanya berdua, selain takut Daniel tersinggung, ia lebih takut lagi kalau anaknya dibentak. Jadi Pria itu akhirnya berdiri sedikit tak jauh dari tempat Cerita mengangkat telpon.
“Saya memiliki banyak sekali urusan. Kamu jangan bermain main.”
Kalimat sinis tersebut yang pertama kali Cerita dengar ketika ia menempelkan ponsel milik ayahnya pada telinganya. Gadis remaja itu sedikit meringis, tapi kemudian kembali mengumpulkan seluruh keberaniannya.
Ia membersihkan tenggorokannya sebentar sebelum menanggapi orang di sebrang sana. “Nggak ada yang main main, Om Daniel. Saya juga sibuk, bukan Om doang yang sibuk di dunia ini.”
Dalam hati Cerita merutuki bagaiman ia siswa paling tidak aktif di sekolah mengatakan hal tersebut pada seorang pebisnis. Tapi ia kembali ingat tujuannya, ia ulang dalam hati, demi Wiliam.
“Lalu apa maksud kamu dengan mengatakan mengetahui keberadaan anak perempuan saya. Jangan main main pada hal seperti ini.”
“Saya nggak main main, kalau Om memang ingin tau, Om bisa bertanya nanti sesuai dengan waktu yang saya tentukan.”
Terdengar helaan napas panjang dari telpon. “Saya tak tau dimana letak kepala Papamu, sampai mempercayai anak kecil seperti kamu. Tapi saya tegaskan, saya tak akan datang kalau tak ada jaminan saya mendapatkan apa yang saya butuhkan.”
Papanya yang tiba tiba dihina membuat gadis remaja itu tersinggung. Memang apa yang salah dari mempercayai anak sendiri? Cerita menaikan nada bicaranya, membalas, “Letak kepala Papa tetap pada posisinya, Papa mempercayai saya, karena dia mengenal anaknya. Orang yang tak becus mengurus anak gak pantes merendahi Papa saya.”
“Ulangi yang kamu bilang?
“Gak becus mengurus anak.” Cerita lalu tertawa hambar. “Ayolah, Om, masa nggak mau ngakuin hal itu? Anak pertama gak tau dimana, anak kedua— eh Om masih ingatkan kalau Om punya anak namanya Wiliam?”
Gemertak gigi terdengar, “Jaga ucapanmu.”
“Saya bertanya, Om. Ingat punya anak namanya Wiliam Darell Sanjaya?”
“Kamu jangan menghakimi saya seolah paling tau tentang keluarga saya.”
“Tapi saya jauh lebih tau Wiliam dibandingkan Om!” tegas gadis itu dengan cepat, “Apa yang Om tau tentang Wiliam? Nggak ada Om. Om tau kalau Wiliam nggak masuk sekolah di minggu pertama SMP? Om tau kalau Wiliam nggak pernah sarapan pagi? Om kenal teman Wiliam satu satunya pas SMP? Om pernah nyaksiin Wiliam hujan hujanan nunggu keluarganya pulang? Om tau kalau Wiliam belajar mati matian demi menunjukan ke kalian kalau dia pantas dibanggakan? Om ada waktu Wiliam masuk rumah sakit karena belajar sampai jam 3 pagi? Om pernah hadir di lomba lomba Wiliam?”
Hening.
Dada Cerita naik turun seiring dengan emosinya yang mengebu gebu, “Dan setelah semua hal yang dia lewatin sendirian, Om tau dia masih dengan bangga nyeritain gimana Om dulu selalu nganterin dia ke sekolah tiap pagi.”
“Sekarang Om beneran kenal Wiliam?”
Jeda begitu lama, sebelum Pria paru baya di sebrang telpon sana mau kembali bersuara. “Dia tetap anak saya.”
Perut Cerita terasa tergelitik oleh jawaban yang tak masuk akal bagi Cerita. Gadis itu tertawa sinis, “Anak saya.” ia ulangi kata paling tak masuk akal baginya.
“Om seorang orang tua? tapi tega meninggalkan seorang anak, menelantarkan seorang anak, membiarkan dia tumbuh sendiri, dan kehilangan seorang anak. Om merasa pantas jadi orang tua?”
Kali itu Daniel tak lagi bisa menahan, “Menjadi orang tua itu tidak mudah!” bentak Daniel kencang.
“Nggak punya orang tua juga gak mudah om!” Balas Cerita tak kalah kencang. “Kami anak nggak pernah minta sama Tuhan untuk dilahirkan. Kalian para orang tua yang meminta kami untuk dihadirkan. Lalu apa Om merasa alasan 'tak mudah menjadi orang tua' bisa jadi alasan untuk menelantarkan anak? Kalau memang belum sanggup menjaga, dari awal jangan meminta Om!”
“Om gak tau beratnya hidup tanpa seorang ayah, tanpa sosok figur yang kita harap bisa mengayomi kita. Om gak tau gimana irinya ngelihat anak lain dipeluk, dibanggakan ayah mereka. Om gak tau gimana sakitnya ditinggalkan orang yang kita sayang. Om gak tau gimana kesepiannya nggak punya siapa siapa di rumah. Om gak tau, karna Om yang ninggalin.” Cerita sedikit banyak tau bagaimana sedihnya kehilangan. Makanya tanpa banyak pikir kalimat itu keluar dari mulutnya.
“Saya nggak pernah tau gimana persisnya perasaan Wiliam, Om. Wiliam nggak pernah mau benar benar menceritakan sakitnya. Dia nyimpan semua sakit hatinya sendirian. Tapi dia juga gak pernah mengeluh, Om. Dia nggak pernah menyalahkan keluarga kalian. Dia selalu bilang kalau kalian cuman lagi nyari kebahagiaan kalian aja. Padahal Om tau? bahagianya Wiliam itu kalau kalian berkumpul. tapi dia korbanin bahagia dia, demi kalian. Dia sering bilang kalau dia kangen, Om. Tapi dia nggak mau egois dengan maksa kalian pulang.”
Cerita menghembuskan napasnya panjang, ia merasa bertemu klimaks pada obrolan mereka, “Saya pernah bertanya sama dia, bagaimana cara Om dan Tante bisa pulang tanpa menjadikan Wiliam egois. Jawabannya hanya perlu Kakak pulang. Saat itu saya kira itu mustahil, karena Om sendiri nggak bisa menemukan Kakak Wiliam. Tapi ternyata Wiliam tau dimana Kakaknya berada.”
Seperti disambar petir, di sebrang sana Daniel dibuat mematung. Hening panjang mengisi sambungan telpon tersebut.
“Wiliam hanya mau Om, bertanya langsung ke dia. Wiliam hanya menunggu Om, bertanya. Semudah itu Om mengembalikan seluruh keluarga, Om.”