Jagoan


Beberapa pegawai mulai menyajikan makan utama ke meja. Berbagai bentuk nampan yang ditutup tudung besar tersaji di hadapan keluarga Wiliam. Sampai semua telah tersaji dengan baik, baru lah seluruh pegawai restoran tersebut keluar. Menyisakan Wiliam beserta kedua orang tuanya.

Wiliam melirik ke depan. Papahnya nampak sama canggungnya. sedangkan sang Mama yang duduk di tengah, sibuk merapikan sendoknya. Dan kini ikut membersihkan sendok yang terletak di kanan kiri piring Wiliam. Wiliam tak banyak tanya ia hanya menatapi itu dalam diam.

“Mau Mama pimpin doanya, nak?” tanya wanita yang wajahnya sudah nampak kerutan itu.

Wiliam pernah sekali memanjatkan dalam doanya agar kelak ia bisa menganggungkan nama Tuhan bersama keluarganya. lalu kelak itu seolah tengah dikabulkan.

Dengan cepat Wiliam mengangguk. Kemudian ia mulai memejamkan mata, memposisikan diri selayaknya menghadap pada Yang Kuasa.

Pujian, syukur dan harapan mulai dipanjat sang ibu. Di tengah doanya, ia selipkan nama Wiliam. Terselip harapan agar anak lelakinya tumbuh tanpa harus kesakitan lagi, harapan agar apapun sakit yang pernah tertoreh di hati lapang sang putra bisa diobati, harapan agar apapun kesalahan sang Mama di masa lalu, dapat ditebus.

Lalu sebelum menutup doanya, Ibu dua orang anak itu juga mengakui segala dosa dosanya. Betapa cerobohnya ia menelantarkan anaknya. Betapa egoisnya dia tak memikirkan anaknya. Dan betapa tak merasa layaknya ia disebut seorang ibu.

Hati Wiliam serasa tercubit, pedih mendengar doa penuh pilu wanita kesayangannya. tepat setelah doanya selesai, Wiliam bangkit dari tempat duduknya. berjalan untuk merengkuh sang Mama yang sudah terisak sejak memanjatkan doa doanya.

“Mama minta maaf...” tanya wanita paruh baya itu di tengah tangisnya yang tak berhenti terjatuh.

Mama adalah perempuan pertama yang tak mau Wiliam sakiti. Meski 5 tahun terakhir lebih sering jauh, tapi Mama masih tetap menghadiri tiap bagian penting di hidup Wiliam. Mama tak pernah benar benar menghilang, namun tak juga benar benar ada di sisi Wiliam.

Mama selalu menghadiri penerimaan hasil ujian Wiliam, tapi keesokan harinya mama sudah tak lagi di rumah. Mama ada di olimpiade yang Wiliam lakukan tahun lalu, tapi hanya sempat memberi peluk, lalu menghilang lagi.

Wiliam sudah merasa cukup dengan itu. Wiliam yang tak pernah menuntut lebih. Wiliam tak pernah menahan Mama saat wanita itu kembali menggeret koper menuju tempat yang Wiliam tak ketahui. Wiliam hanya memandangi, lalu membiarkan pergi.

Bagi Wiliam ini kesalahannya.

Dalam peluk erat itu, Wiliam hanya diam tak menjawab tanya sang Mama. Ia hanya ingin memeluk seerat mungkin sampai Mamanya tak bisa pergi lagi.

Wiliam memjamkan matanya. Ia tak tau pelukan ini akan ia dapatkan berapa bulan lagi, atau bahkan tahun.

Kepala Wiliam tiba tiba saja terasa berat. telapak tangan besar terasa mengelusnya. ia mendongak, mendapati Papa yang kini menatapi dirinya dengan mata ikutan berlinang.

“Jagoan.”

Wiliam terenyuh.

Panggilan itu. Seribu kenangan yang tercipta oleh kata itu kini bertumpuk dalam kepala Wiliam. Yang membuat mata cowok itu kini mulai memanas.

“Dulu Papa lupa bilang, kalau Jagoan Papa juga boleh merasa lelah. Jagoan Papa nggak melulu harus kuat. Jagoan Papa bisa panggil Papa untuk tempat mengeluh. Harusnya dulu Papa bilang gitu ya, Jagoan? Biar kamu nggak terus terusan berusaha sendiri.”

Air mata Wiliam terjatuh begitu saja.

“Papa kira selama ini Papa tengah memperbaiki. Waktu Kakakmu memilih pergi, Papa sudah kehilangan sebgaian dunia Papa, Dek. Ada bagian dalam diri Papa yang hancur. Dulu, Papa kira menemukan Kakakmu mungkin jadi satu satunya cara agar Papa kembali merasa utuh. Tapi Papa ternyata salah, lagi.”

Bertaahun tahun, Wiliam hanya mampu melihat wajah datar Papanya. Emosi seakan sudah lenyap dari raut wajahnya. Tapi malam ini dengan penuh air mata serta air muka penyesalan Pria paru bayah itu bangkit dari kursinya, lalu ikut memeluk anak dan istrinya.

“Papa meninggalkan kamu, Papa minta maaf.”

Wiliam benci kata meninggalkan, berpuluhan kali telah ia rasakan ditinggalkan. Tak pernah sekalipun ia merasa bahagia, duka jadi yang selalu ia rasa. Isakan cowok yang kini dipeluk kedua orang tuanya itu jadi makin kencang.

Maaf seperti sebuah obat manjur untuk hati yang pernah terluka. Maaf yang pelik didapat, tak sering terucap, jadi terasa beribu kali lebih bermakna. Dan maaf dari Papa adalah kata paling jarang Wiliam dengar.

Kini tak ada lagi yang Wiliam tunggu. Seakan kata Maaf sang ayah dan ibu berujung pada satu tujuan.

Pulang.

“Kalau gitu pulang, Pah, Mah.” Pinta Wiliam dengan suaranya yang bergetar hebat.

“Mama akan selalu bersama kamu, nak.”

“Papa pulang.”

Untuk apapun yang Cerita lakukan, sampai Wiliam menerima ini semua, Wiliam sangat berterima kasih.