Bogor dan Hujan
“Kamu nulis apa?”
Doy menunduk mecoba mengintip apa yang sedari tadi Kaylie coba tulis pada legannya. Lengan Doy yang tadinya tergeletak pada paha Kaylie jadi sedikit bergeser, dan Doy bisa rasakan mata pulpen Kaylie jadi bergerak tak tentu arah.
Kaylie mendongkak, memicingkan matanya sebal. “Dikit lagi selesai! kamu jangan gerak gerak!”
Gadisnya mengomel sebal dengan nada tinggi juga wajahnya yang berkerut.
Barusan itu ekspresi kesukaan Doy.
Ia tersenyum simpul sebelum tangannya yang bebas meraih puncak kepala Kaylie, lalu ia elus dengan lembut. Doy luar biasa sayang pada gadis ini.
“TARA!!!!!”
“udah?”
Kaylie mengangguk dengan semangat, kemudian mengangkat tinggi lengan Doy yang baru saja ia coret.
Doy tertawa tanpa suara, “Ini tangan cuman boleh dipeluk, digandeng, ditarik, dipukul, dicium—aku belum pernah cium tangan kamu sih, dicubit sama Kaylie Steffanie” senyum Doy tak hilang selama ia membaca tulisan Kaylie di tangannya.
“Ini yang konteksnya on purpose ya, kalau gak sengaja masih gpp”
“jadi sisahnya harus minta ijin ke kamu?” tanya Doy.
“iya”
“bunda juga?”
“kecuali bunda.”
“papa juga?”
“kecuali papa”
“ucil juga?”
“ucil siapa?”
“Keponakan aku”
“ya kecuali ucil, pokoknya kecuali keluarga kamu sama Yanto.”
“Yanto siapa lagi?”
“Gak tau sih, aku cuman suka aja sama nama Yanto. Namanya bagus.”
Doy hanya mendengus geli mendengar jawaban ngawur pacarnya itu. Kini dia sudah tak sepusing dulu lagi menghadapi tingkah aneh Kaylie. Entah karena sudah terbiasa, atau malah Doy jadi aneh juga.
Kaylie meraih lengan Doy lagi, “Aku gulung ya? boleh ya?”
Kalau saja Doy tak menatap mata gadis itu yang berbinar memohon dengan senyum lucunya mungkin sekarang Doy tak akan sepasrah ini membiarkan lengan tangannya digulung—memaparkan dengan jelas tulisan Kaylie di tangan Doy.
“ganteng pacar aku hehehee”
Doy memutar matanya malas saking serignya ia mendengar kalimat tersbut keluar dari mulut gadis ini. Tak benar memuji, kalimat barusan memang sudah pasti selalu keluar tiap kali gadis ini memaksa keinginannya.
Yang Doy tidak sadari kalimat itu juga jadi sering keluar karena ia yang terlalu lemah tidak bisa menolak pesona kekasihnya.
“Kamu mau kemana habis ini?”
Tak pikir panjang, dengan semangat Kaylie langsung menjawab, “Ke wartas, yuk!”
Doy menggeleng tak setuju, “jauh, macet.”
“Pengennnnnn”
Doy menggeleng, lagi.
“Kita ngedate tuh susah karna kamu sibuk, sekalinya gak sibuk gini diajak gak mau!” rajuk Kaylie, ia melipat tangannya dengan kasar, wajahnya tertekuk dengan bibir sudah mengerucut kesal.
“Bisa jalan di sekitar depok, sama aja.”
Balik, gadis itu kini yang menggeleng dalam diam. Bukan soal tempatnya. Iya Kaylie tau bakal sama aja, tapi dengan memilih perjalanan lebih panjang waktu yang mereka habiskan berdua akan lebih banyak. Juga, akan jauh lebih berkesan jika mereka mencoba tempat lain, bukan cuman keliling gramedia Margonda atau jalan kaki ke Pesona Square.
“Gak seru, itu itu aja. Mana rame lagi.”
Kaylie malu kalau harus mengakui dia ingin berduaan lebih lama. Dia lebih berharap cowok ini peka.
“Ya cari tempat baru”
“kita udah muterin semua pelosok Depok”
“Puncak macet weekend gini.”
“Naik kereta”
Doy mengendurkan bahunya, tampak tak selera pada usul Kaylie. “kamu tau aku gak pernah naik kereta.”
“makanya cobaaaaaaa” Kaylie mengatupkan kedua tangannya, gadis itu menarik bangkunya mendekat pada Doy.“Pleaseeeeee”
Kembali lagi dengan Kaylie si keras kepala suka memaksa, juga bersama Deandoy yang lemah.
Binar mata Kaylie, juga wajahnya memelas adalah kombinasi sempurna yang dapat meruntuhkan pertahan seorang Deandoy.
Doy memalingkan wajahnya.
“yayayayayaaaa” pinta gadis itu lagi.
“ya” Pasrah Doy, seperti biasanya. “pake mobil, bukan kereta.”
Kaylie jelas langsung kegirangan, secepat kilat ia sudah berlari masuk ke dalam mobil Doy.
***
Sore itu perjalanan yang Kaylie harapkan akan berkesan indah malah berujung sebaliknya.
Jangankan indah, berbicara saja Kaylie enggan rasanya. Dari tadi mobil Doy hanya diisi dengan lagu dari radio bersamaan dengan decakan kesal juga omelan dari yang empunya.
Semua itu berawal setelah hujan turun membasahi Bogor.
Tepat setelah mobil Doy turun dari Tol, hujan dengan deras membasahi kota tujuan mereka ini.
Doy yang memang dari awal menolak pergi langsung menyalahkan permintaan Kaylie. Cowok itu terus saja menyebutkan bahwa saran dia tadi benar, dan saran Kaylie salah.
Ditambah lagi ia mendapati pakaian yang Kaylie kenakan kini sangat tipis, bahkan gadis itu tak membawa jaket.
“Lain kali kalau aku bilangin nurut.”
“Apaan sih! kamu tadi nolak karna macet, bukan karna hujan. Lagian bukan aku yang minta hujan!” balas Kaylie tak terima disalahkan.
“Tapi kamu yang minta ke Bogor. Kalau kita di Depok, hujan bukan jadi masalah.”
“Ya terus aku harus gimana? Muter balikin waktu?!” tanya gadis itu sewot.
Kaylie meringkuk di tempat duduknya, lalu membalik badannya memunggungi Doy.
Iya, salah Kaylie tadi memaksa Doy.
Tapi Doy gak bisa langsung marah marah nyalahin dia gitu aja dong! Coba deh cowok itu mikir dari prespektif Kaylie. Alasan Kaylie memaksa jalan jalan ke Bogor yang jauh ini, karena mau punya quality time sama Doy. Kalau tiap hari mereka berdua bisa ketemu tanpa terhalang jadwal rapat sana sini Doy, Kaylie juga udah muak kali sama Doy dan gak akan kepikiran ngajak Doy jalan sampe ke Bogor.
Tapi nyatanya Kaylie gak bisa tiap hari ketemu Doy. Dan tiap bertemu, Kaylie harus mengusahakan pertemuan mereka berkesan.
Kaylie cuman mau mengusahakan agar kisah mereka tak terasa membosankan. Tapi Doy malah dengan enteng menyalahkan keputusannya.
Kalau sudah begini, semua orang sudah tau akhirnya Kaylie si cengeng pasti akan menangis.
Air mata gadis itu jatuh semakin deras, untung ia masih dapat menahan isakannya. Ia tak mau Doy tau ia menangis sekarang. Cowok itu tampak masih marah, mungkin lebih baik ia meluapkan dulu segala emosinya. Walau tak suka disalahkan tapi bukan berarti Kaylie melarang Doy emosi.
Doy memang kini masih dikuasi rasa kesalnya. Jelas terlihat dari raut wajah cowok itu.
Setelah sibuk dengan urusan kampus satu satunya yang ingin Doy lakukan adalah beristirahat. Makanya dari awal cowok itu sudah menolak perjalanan ini. Ia sudah tau kalau perjalanan ini akan sangat menguras tenaganya. Sedari tadi harus bermain dengan pedal, tangannya juga yang harus lihai, ditambah fokusnya yang harus terbagi pada berbagai arah.
Doy juga sudah mencoba menolak dengan mempertimbangkan hal hal buruk yang mungkin akan terjadi. Namun Kaylie menolak mengindahkannya. Tebakan Doy soal macet memang salah, namun hujan di kota penghujan jauh lebih buruk dari sekedar macet.
Tapi apa Doy kesal karena itu?
Jawabannya bukan.
Ketika tangan Kaylie yang mulanya ia gengam mulai terasa dingin, dan bibir bawahnya yang mulai bergetar menahan kedingin tertangkap oleh Doy, itu yang membuat Doy jadi kesal,
Letih Doy tak akan pernah ia beri tahu pada Kaylie, biar dia rasakan sendiri. Ia tak akan mengatakan seberapa pegal kini kakinya, tak akan mengatakan seberapa berusahanya ia membagi fokus pada jalan dan pada tiap cerita yang Kaylie lontarkan. Doy akan simpan sendiri.
Tapi mengenai Kaylie-nya.
Ia kesal pada tindakan yang Kaylie lakukan yang berakhir membuat ia sendiri yang menderita. Kaylie-nya yang keras kepala, dan memaksa. Doy tak ingin menyimpannya sendiri.
Doy bukan hanya ingin meluapkan emosinya. Ia ingin gadis ini lebih sadar, terkadang perlu mendengar pendapat orang lain. Terkadang perlu memikirkan konsekuensi. Terkadang tak boleh terlalu keras kepala. Bukan untuk menekannya tapi untuk yang terbaik bagi dia. Doy tau ia juga salah terlalu lemah hingga tak bisa menentang pinta Kaylie, cuman kalau saja Kaylie tak memaksa mungkin ia tak akan kedinginan sendiri seperti ini.
Bukan seperti pernyataan Kaylie barusan. Doy tak ingin Kaylie memutar waktu, ia hanya ingin Kaylie lain kali lebih mendengarkan sarannya.
Dan beigtulah keheningan tercipta diantara mereka bermenit menit lamanya.
Bahkan ketika mereka telah sampai ke tujuan, hanya Doy yang memilih turun. Kaylie masih tetap setia meringkuk dalam bangkunya.