leather jacket —
Gabriella Clazetta
Ada beberapa detik yang terasa lebih lama, ketika mata gue nggak sengaja bertubrukan dengan sepasang mata coklat pekat di sebrang gue. Detik detik aneh yang membuat gue tersentak sebentar, sebelum gue mengalihkan tatapan gue. Cowok dengan leather jaket hitamnya dan topi berwarna senada, masih terus menatap gue dengan terang terangan.
Kalau nggak ingat ruangan ini dipenuhi oleh anggota panitia Ospek, mungkin gue udah menghantam cowok itu dengan bogeman mentah. Gue nggak pernah suka jadi perhatian, apa lagi yang merhatiin gue seorang buaya darat yang udah berkali kali gue tolak kehadirannya.
Sepanjang rapat pengenalan, dia masih terus memperhatikan gue, bahkan Kaylie yang duduk di samping gue sampai bisa merasakan tatapan itu. Tapi apa yang gue bisa lakukan di hadapan orang orang yang baru gue kenal ini? gue cuman bisa tersenyum sesekali ketika mata kami kembali bertemu. Gue nggak mau memperlihatkan sifat emosian gue di depan semua orang, seengaknya jangan di hari pertama kami berkenalan. Gue harus berpura pura sampai bisa diterima.
Sampai di akhir rapat pengenalan, ia berjalan mendekat ke arah gue. “Hai, Zet.” Sapanya, dengan lantang. Sekali lagi, lantang.
Gue bisa merasakan beberapa orang menghentikan aktivitas mereka, mungkin ingin tau, cewek seperti apa yang akan jadi target baru buaya ini.
“Hai, Johnat.”
Johnatan yang dari tadi memperhatikan gue nampak nggak peduli dengan wajah gue yang udah merenggut kentara.
“Kita ketemu lagi.”
Gue memutar bola mata malas, ‘ketemu lagi’ katanya seakan ini adalah pertemuan kebetulan yang kami berdua tidak prediksi sebelumnya. Padahal jelas jelas di obrolan kami melalui Twitter, dia sudah tau fakta ini.
“Seneng gak lo ketemu gue lagi?”
Apa dia gak bisa lihat seberapa tak bersahabatnya wajah gue sekarang?
“Perlu gue jawab?”
“Gak perlu, takut sakit hati.”
Basa basi yang basi banget ini ngebuat gue makin ingin cepat pulang. Gue bangkit berdiri, berniat pergi.
“Balik naik apa?”
“Mobil, Nat. Udah ah, awas.” Gue sedikit mendorong tubuh jangkungnya ke samping. Lalu mulai berjalan keluar dari ruang pertemuan mereka.
Entah dia memang inign pulang juga, atau hanya ingin mengikuti gue, yang jelas sekarang dengan langkah besarnya gue bisa merasakan kini langkah kami sudah beriringan.
“Mau gue anter, gak?” Tanyanya.
“Gue naik mobil, buset dah, mau lu anter gimana lagi?”
Johnat mengedikan bahunya santai, “Gue setirin pake mobil lo.”
Gue menatap dia jengah, “Nyape nyapein.”
“Buat lo mah, apapun gue lakuin.”
Huek.
“Lo mau ngalus kapan kapan aja deh, jangan sekarang, gue capek pengen balik.”
“Gue serius, lagi hujan deres juga di luar. Kalau lo takut nyetir pas hujan, gue siap nganterin.”
Gue sebetulnya memang takut menyetir di tengah hujan deras begini, tapi nyatanya itu masih mending dibandingkan harus diantar pulang oleh Johnatan lagi. Pengalaman pertama gue diantar pulang Johnatan, yang membuat dia tau semua, gue rasa cukup terjadi sekali. Gue nggak mau ada hal hal seperti itu lagi.
“Lo nggak ketemuan sama divisi lo?” tanya gue mengalihkan.
“Habis nganterin lo.”
Gue berhenti menatap dia kesal, “Gue gak mau dianter.” Tegas gue dengan nada galak.
Johnat tertawa, “Lucu.” Katanya sambil mengacak rambut gue.
Kalau lo pikir gue bakal berdebar karena kepala gue diusap sama Johnatan, maka tebakan lo salah besar. Daripada berdebar kini gue naik pitam.
“Rambut gue!” saking emosinya gue memukul dia.
Brak!
Cukup kencang…
Gue membulatkan mata, ikut terkejut mendengar dentuman yang begitu keras itu. Entah karena gue atlet taekwondo, pukulan yang gue kira kecil ternyata terdengar begitu kencang.
“Anjir, badan lu kecil kekuatan lu raksasa.”
Baru gue ingin mengelus lengan Johnatan, begitu mendengar ucapannya, rasanya gue mau memberikan dia pukulan kedua.
“Bacot.”
Gue melanjutkan langkah gue yang sempat tertunda, kini dengan langkah yang lebih cepat. memberikan jarak yang lumayan jauh dari cowok menyebalkan itu.
Namun langkah besar dari cewek 165 cm bukan hal yang sulit untuk dikejar Johnat yang gue perkirakan tingginya 180an. Kini dia sudah kembali melangkah tepat di samping gue, sambil tertawa. Dia sering banget ketawa, bukannya melarang orang lain bahagia, tapi tawa Johnatan itu terdengar mengejek.
Gue melirik sedikit ke samping, “Maaf.” Cicit gue pelan. Meski masih kesal pada tingkah menyebalkannya, gue tetap merasa bersalah.
Dari ekor mata gue, gue melihat dia menoleh dengan senyum, “Dimaafin, kalau gue anter pulang.”
Dan lagi si keras kepala ini berulah.
Selalu memanfaatkan rasa bersalah gue.
“Gak.” Putus gue tegas. Gue menghadapkan badan gue pada Johnatan, sembari menghentikan langkah gue tepat di pintu keluar sebelum memasuki parkiran yang diguyur hujan.
Johnat mengikuti gue, berhenti lalu memposisikan kita berhadapan.
“Johnat,” Gue menatap dia lelah. “Gue capek dan kurang nyaman kalau lo anterin pulang.”
Gue cuman bisa berharap cowok keras kepala ini mengerti kalau gue benar benar jengah seakrang.
Dia terdiam, hanya menatap gue untuk beberapa detik. Pada detik berikutnya, dia sudah melepaskan leather jaketnya, meraih tangan kanan gue yang bebas, kemudian meletakan leather jaketnya dalam genggaman gue.
Sebelum gue bertanya, dia udah lebih dahulu menjelaskan. “Jalan ke parkiran pakai ini, biar lo nggak basah banget.”
Kali ini gantian gue yang terdiam, memproses keadaan, juga perasaan gue yang … menghangat?
gue mendongkak ketika merasakan kepala gue kembali disentuh oleh telapak tangannya, dengan lebih lembut, bahkan gerakannya terasa seperti memperbaiki tatanan rambut gue.
“Cabut ya gue!” Dia kemudian kembali melangkah, “Hati hati!” tutupnya, sebelum berlari dengan cepat kebali ke ruang pertemuan kami.