Paralayang
—
Gabriella Clazetta
Cerai begitu isi pesannya.
Lucu saat kata itu bukan lagi seperti sebuah perpisahan, malah terasa seperti titik terang. Kami udah lama hancur, akhir pahit sudah kami duga karena cerai seperti sudah menunggu kami di ujung. Ketika terus terusan tersakiti, hal seperti ini, ingin cepat selesai, akan jadi biasa. Apapun jalannya, entah kembali lagi atau malah berpisah seperti kami, yang penting semuanya diakhiri. Sakit hati jadi urusan belakang, yang penting jiwa bisa tenang.
Begitu yang gue pikir, sebelum kemudian sakit hati benar benar singgah. Lebih dahulu dari jiwa yang tenang.
Gue lupa cara bernapas untuk beberapa detik, sampai dada gue mulai sesak dan seperti ada yang menusuk ulu hati gue. Dihancurkan oleh ‘mereka’ harusnya udah biasa, tapi kali ini ternyata memberi perasaan berbeda. Ada hancur yang lebih terasa ditorehkan oleh kata cerai.
Sedikitpun air mata gue nggak jatuh, hal yang malah gue sesali. Karena lebih baik gue menangis, dari pada malah gemetar ketakutan dengan tatapan kosong seperti ini. Semua orang bilang gue nggak mau terlihat lemah, padahal nyatanya gue mau, tapi gue nggak mampu. Dari kecil gue udah didewasakan dengan kata harus kuat, sampai tubuh gue nolak, otak gue menentang untuk terlihat lemah, berakhir gue kembali sok kuat padahal jiwa berasa ditikam.
Gue dari tadi masih nyoba hubungin Saga, meski gue tau dia nggak bakal jawab. Lo tau kenapa? Karena cuman sama Saga, gue bisa jadi Zetta yang nggak dituntut untuk
**
Sean Johnatan
Sejak bokap mukul gue untuk pertama kalinya, hubungan kita nggak baik baik aja. Di tahun pertama gue kuliah dia bahkan menolak untuk membayar uang kuliah gue, kehadirannya di rumah membuat kita tiap hari adu mulut dan nggak sekali kali dia melayangkan tamparan ke gue.
Tahun pertama gue kuliah mungkin jadi tahun terburuk buat hidup gue. Dimana gue masih harus menyesuaikan diri dengan dunia kuliah ditambah kehadiran bokap gue yang memberatkan. Saking letihnya gue pernah berpikir “buat apa jantung gue terus berdetak kalau hanya untuk menyiksa seluruh tubuh gue?” Letih, lelah dan ingin berhenti selalu melintas di pikiran gue saat itu.
Sampai suatu hari di akhir semester pertama kuliah, Jeffryan ngajak gue nyoba bungge jumping, olahraga ekstrem yang melibatkan seseorang untuk jatuh dari ketinggian tertentu dengan sebuah tali lentur menahan kaki. Saat itu gue cuman berpikir gimanapun caranya gue harus kabur dari bokap yang mungkin udah nungguin gue di rumah. Jadi tanpa tau seperti apa bungee jumping itu, gue langsung setuju.
Tepat saat tubuh gue terhuyung dan terlempar kebawah, tanpa butuh sebuah alasan, jantung gue berdetak dengan kencang. Gue nggak merasakan tubuh gue yang tersiksa. Gue merasa waras untuk sesaat. Sejak saat itu gue suka olahraga ekstrem, ini jadi salah satu alasan gue untuk membiarkan jantung berdetak.
Gue menarik rem tangan, memarkirkan mobil gue beberapa meter dari tempat gue akan paralayang, olahraga ekstrem lainnya yang saat ini mau gue coba.
“Udah sampe?”
Gue menoleh ke samping, sumber suara itu, mendapati Zetta yang membuka sabuk pengamannya dengan ragu.
Kalau lo bingung kenapa ada dia di sini, sama gue juga. Gue juga nggak ngerti kenapa cewek ini tadi masuk ke Starbucks dengan wajah yang mengkerut, lalu tanpa sapaab dia duduk di hadapan gue dan dengan santai setuju untuk ngembaliin jaket gue di Bogor.
Gue nggak berniat untuk bertanya kenapa dia tiba tiba berubah pikiran dan mau aja ngikutin ide bego gue, karena wajahnya bahkan jauh lebih seram dari dia yang biasanya. Jadi tanpa banyak tanya, gue langsung membawa dia ke bogor.
Selama sejam perjalanan yang hanya dipenuhi suara dari radio, akhirnya kini kami sampai. pertanyaan barusan, jadi kalimat pertama yang dia lontarkan setelah kami masuk ke mobil.
“Udah, ayo turun.”
Karena posisi paralayang yang ada sedikit di atas tempat parkir, butuh beberapa menit bagi kami untuk berjalan melalui tangga. Zetta berjalan di samping gue, masih diam, ngebuat gue gemas sendiri.
“Lo udah pernah paralayang?”
Zetta hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan gue. Dari tadi begini, dia cuman balas gue dengan anggukan atau gelengan.
“Ini serem sih, mayan, berani nggak lo?”
Seperti sebelumnya, dia nggak berbicara sama sekali, hanya mengangguk.
Gue menghela napas, kayaknya mau seberapapun usaha gue untuk membuat dia buka mulut, nggak akan berhasil. Jadi daripada kembali hening, gue akhirnya bercerita, mungkin dia jadi tertarik untuk ngobrol sama gue?
“Gue suka olahraga ekstrem.” Gue menoleh, melihat dia yang menatap gue sekilas lalu kembali buang muka.
“Tiap gue mau nyerah hidup, gue selalu lari ke olahraga ekstrem. Lo tau? Habis nyoba olahraga ginian, gue berasa lebih hidup. Jantung gue detak lebih cepet, gue jadi pengen hirup napas sebanyak mungkin, semua sakit di badan gue bakal kalah sama sakit dari olahraga ginian. Pokoknya gue berasa lebih waras.”
Langkah Zetta tiba tiba berhenti, dia jadi tertinggal satu tangga di bawah gue. gue menoleh dengan tatapan heran, melihat dia yang malah bengong menatap ke bawah.
“Zet?” panggil gue dengan alis bertaut.
“Ulang sekali lagi.” Gue nggak paham maksud dia, jadi gue diam, mencoba mencerna.
“Yang terakhir.” Desaknya lagi, membuat gue teringat kalimat terakhir gue.
“Gue lebih waras?”
Zetta kini menatap gue dengan sangsi, “Jadi maksud lo selama ini, sebelum ada olahraga ekstrem ini, lo gila?”
Hilang arah, gue benar benar nggak tau kemana pembicaraan Zetta ini akan berakhir. Tapi pada akhirnya gue tetap memberi jawaban terbaik menurut gue, “Gak gila, cuman, sebelum nemu olahraga ekstrem ini gue merasa sakit sampai rasanya pikiran gue udah hilang. Dan olahraga ini bikin gue sembuh. Dan lu emang harus sembuh dari apapun yang bikin lo sakit.”
Jawaban gue itu nggak dapat balasan, karena setelah itu Zetta melangkah lebih dahulu, balik meninggalkan gue. Membiarkan gue kebingunggan dengan tingkahnya.
Sampai jauh berjam jam setelahnya, setelah kami kembali ke dalam mobil gue untuk pulang ke Depok, dia menjawab kebingunggan gue.
“Gue sakit, semua orang nyakitin gue. Sembuhin gue, Jo, kayak paralayang nyembuhin lo.”
Dari situ, Zetta setuju untuk gue masuk ke hidupnya.