Temani
Sean Johnatan
Bokap gue bukan terlahir dari keluarga kaya raya, kalau kata Eyang gue, dulu keluarga mereka hanya keluarga dengan ekonomi menengah. Mereka selalu ada di tengah tengah, terjepit antara nyaris hidup mewah dan melarat di saat bersamaan. Berbekal rasa tak puas hidup biasa saja, Bokap memaksakan diri belajar bisnis. Masuk perguruan tinggi mengambil jurusan bisnis, lalu memulai perjalanan bisnisnya dari masa kuliah. Bertahun tahun bahkan sampai gue lahir, bokap masih sering merasakan kegagalan. Padahal usahanya cukup keras, ia sudah merelakan seluruh waktunya untuk bisnisnya, memangkas habis waktu yang ia miliki hanya untuk bisnis, bisnis dan bisnis.
Kesuksesan Bokap baru terwujud, pada usianya yang ke lima puluh. Kerja kerasnya terbayar, kini semua orang menganggapnya sukses menjadi pebisnis, tapi sayangnya, tak seorangpun menganggapnya berhasil membina rumah tangga.
Waktu Bokap yang memang hanya diperuntukan untuk bisnisnya membuat gue dari kecil nggak pernah deket sama dia. Yang gue ingat dari penggalan memori masa kecil gue hanya waktu ketika gue main sama nyokap. Satu satunya hal mengenai dia yang gue ingat saat kecil adalah, aroma tubuhnya yang selalu berada di dekat gue saat gue tertidur, kemudian hilang ketika gue terbangun.
Beranjak remaja, gue semakin lupa akan figurnya dalam hidup gue. Selama masa transisi ini, ketika gue sangat butuh banyak nasihat mengenai hidup, ketika gue butuh seorang penuntun, dia nggak pernah hadir di sana.
Hingga akhirnya ketika gue sudah dewasa, dan harus menentukan kemana hidup gue akan dibawa, dia baru hadir. Tiba tiba meminta gue untuk mengikuti langkah hidupnya, tiba tiba memaksa gue menjadi dirinya, tiba tiba mencoba berperan menjadi seorang ayah, ketika semuanya udah terlambat.
Saat itu gue memberontak. Gue nggak mengenal dia. Gue nggak mau mengikuti langkah orang yang gue nggak kenal. Gue nggak mau jadi orang yang gue nggak kenal. Dan gue udah nggak merasa kehadirannya penting dalam hidup gue.
Sialnya, pemberontakan ini menjadi jalan gue mengenal seseorang yang menyebut dirinya seorang ayah tapi bertingkah seperti monster. Dia memukul gue dengan ikat pinggangnya, dengan tega dia membanting tubuh gue dengan tangannya sendiri, bahkan meneriaki gue anak yang nggak tau diuntung. Bekas luka di tubuh gue bukan seberapa, tapi goresan di hati gue masih mengangga sampai sekarang, bahkan sampai malam itu.
Malam ketika gue melihat adik Zetta menangis dalam pelukan Zetta dengan wajah babak belur. Gue seakan ditarik mundur pada saat Bokap mukulin gue, gue merasa déjà vu. Tangis piluhnya, bekas lukanya, rasa sakitnya, hanya mengingatkan gue pada diri sendiri. Bedanya, dia punya Zetta yang dapat memeluknya, dan gue nggak punya siapa siapa untuk sekedar bersandar.
Gue masih ingat tiap inci kejadian di depan mata gue saat itu. Saat Zetta memeluk adiknya dengan begitu erat meski tangannya bergetar. Gue juga masih ingat ketika Zetta mengelus puncak kepala adiknya, sembari mengucapkan kalimat yang paling ingin gua dengar tiap gue merasa hal yang sama “Ada kakak di sini, Jio tenang aja.”.
Zetta begitu rapuh, adiknya tak kalah hancur, tapi mereka hanya memeluk satu sama lain selama bermenit menit, seakan pelukan itu dapat mengobati luka apapun yang mereka dapatkan.
Dan saat harusnya gue berempati, gue malah lebih dahulu iri. Pasti rasanya akan lebih baik, ketika jatuh tak sendiri tapi ditemani. Gue ingin ada yang memeluk gue seerat Zetta memeluk adiknya. Gue ingin ada yang menemani gue di titik terendah gue kayak Zetta ada buat adiknya. Gue ingin ada yang dapat mengobati gue kayak pelukan Zetta buat adiknya.
Gue ingin seseorang yang padanya gue bisa menyerahkan diri, menyembuhkan hati, juga mengistirahatkan jasmani. Gue ingin sosok seperti Zetta. Dan jika mungkin, gue ingin Zetta.
Jadi saat Zetta menanyakan, “Kenapa lo masih tetep ngedeketin gue?”
Adalah pertanyaan yang udah gue tau jawabannya dengan pasti. Gue menjawab dengan jawaban yang meringkas paragraf panjang dalam benak gue. “Karena gue butuh seseorang kayak lo.”
Zetta mengernyit, “Kayak gue?”
“Yang ngerti gimana rasanya sakit karna bokap sendiri.”
Mata Zetta membulat dengan wajah kaget yang kentara.
Diamnya membuat gue melanjutkan, “Selain itu, beberapa hari ketemu lo, semuanya seru. Kalau lo lupa, lo gak segalak ini sebelumnya.” gue mengalihkan topik, nggak terlalu minat untuk lebih lama menginggat bokap gue.
Tapi gue rasa Zetta masih memproses jawaban gue, karena dia masih terus terusan diam.
“Gue nggak ngerti maksud lo apa.” itu kalimat yang Zetta ucapkan setelah hening panjangnya.
Gue mengerutkan alis, sembari menyendokan sesendok bubur dengan santai, sebelum melanjutkan. “Lo ngerti, lo yang paling ngerti.” Dia menggeleng.
Gue udah memperkirakan ini, Zetta yang denial dan nggak akan mau mempercayai omongan gue. Dan gue juga sudah siap menelanjangi diri sendiri di hadapanya, menunjukan padanya kalau gue butuh sosoknya.
“Gue anak tunggal, semua ekspetasi bokap ditaruh hanya di pundak gue.” Gue mulai bercerita, “Bokap anak bisnis dan nggak pernah setuju gue masuk Hubungan Internasional. Dari situ dia mulai tempramen.” Hening kembali melanda. Zetta bahkan nggak mau menoleh ke gue kini, dia menunduk sembari mengaduk buburnya.
Sampai suaranya yang sedikit bergetar terdengar memecahkan keheningan “Lo nggak butuh gue, karena gue sendiri udah nggak sanggup, Jo.”
“Makanya jangan sendiri, gue bisa nemenin lo, lo bisa nemenin gue.” potong gue cepat.
“Enggak, Johnatan. Nggak ada yang bisa nemenin gue.” dia bersikeras.
“Kasih gue waktu 3 bulan.” Gue sendiri juga kaget dengan improvisasi yang gue buat, tapi gue nggak punya pilihan lain, karena Zetta kelihatan begitu menolak gue. “Dalam 3 bulan biarin gue nyoba buat nemenin lo. Kalau sampai 3 bulan menurut lo gue nggak layak bertahan, gue bakal beneran berhenti ngedeketin lo.”
Lagi Zetta menyisahkan hening di antara kami. Dari matanya gue bisa melihat begitu banyak keraguan.
“Sampai Ospek selesai.” Tawar gue mencoba meyakinkannya. “Lo cuman perlu jadi diri lo sendiri, tapi jangan larang gue ngedeketin lo.”
“Johnatan.” Kami bertatapan pada jeda yang ia beri, “Lo cuman buang buang waktu. Sampai kapanpun, mau berapa bulanpun, gue nggak bakal ngebiarin lo bertahan.”
Gue keras kepala. Sebelum perdebatan ini sesuai sama yang gue harapain, gue masih mau memaksa. “Kalau lo seyakin itu perasaan lo nggak bakal berubah, harusnya lo nggak perlu ngelarang gue.”
Dan Zetta selalu nampak malas berdebat. Ia sempat memejamkan matanya sebentar, sebelum kembali menatap gue dengan tatapan kesalnya. “Setelah tiga bulan, lo bakal pergi sejauh mungkin dari gue. deal?”
Gue mengangguk tegas.