“terus berjuang, ya.” itu kata mereka. “tak sanggup” itu balasku.
sering di suatu pagi,
tidurku yang baru nyeyak tiga jam, dibangunkan suara teriakan ibu. meski dengan kepala pusing serta mata berat, ku paksa membangkitkan raga yang tadinya dipeluk erat ranjang.
bahkan ketika jiwa belum sadar, bisa ku rasakan jantungku masih berdegup dengan kencang. dan ketika sudah sadar sepenuhnya, cemas ku kembali datang.
lagi, perasaan takut menyergap.
malam sebelumnya aku sudah menangis sampai enggap. menyurahkan segala sesak. mempertanyakan segala resah. melawan takut yang tak pernah ada habisnya. melawan suara yang datang entah dari mana.
aku berjuang sendirian dalam keheningan malam.
tapi tak berbuah apa apa.
pagi ini masih sama seperti malam sebelumnya, aku dihantui rasa cemas yang berlebihan. hanya bisa berharap tak semengerikan tadi malam.
aku masih meratap ketika teriakan ibu semakin kencang, memaksa aku untuk bangkit dan kembali beraktivitas.
pagi itu aku mulai dengan doa. hanya satu yang ku doakan pada Sang Bapa, biar hari ini aku bahagia.
tapi hari ini doaku seperti belum terjamah oleh-Nya.
dengan segala cemas yang ku usahakan baik baik saja, aku bersiap siap memulai kelas online.
itu hanya kelas bahasa inggris biasa. kita berbicara bercerita dan belajar bersama. tak ada yang salah. tak ada yang menyakitkan. bahkan kita belajar dalam canda dan tawa.
tapi bukannya ikut tertawa, aku malah kembali merasa ketakutan.
kala itu di pertengahan pelajaran, jantungku kembali berdetak cepat. seperti ada sesuatu yang menahan dadaku, rasanya menjalar ke seluruh bagian dada. sesak kembali ku rasa. napas ku mulai berat, tenggorokanku terasa tercekat. dengan teramat kesusahan ku coba bernapas manual. lelahku bernapas nyatanya masih harus ditambah dengan kepala yang kembali terasa berat.
tak banyak yang dapat ku lakukan, hanya bisa memindahkan tanganku ke dada. mencoba menahan segala hal yang membuatnya merasa kesakitan.
sialnya usahaku sia sia, yang ku pikir akan segera baik baik saja. malah rasanya seperti tersayat oleh benda tajam.
rasanya teramat sakit, sampai tak sadar mataku yang panas sudah mengeluarkan air mata kesedihan.
“Kenapa?” tanyaku di sela tangis yang semakin terisak.
“itu yang lo dapetin karna gak berguna.”
begitu jawaban sang suara yang datang dari antah-berantah. menyorakiku dengan jahat.
Kalau saja hanya sampai di situ, mungkin masih ada nyaliku untuk menutupi telinga. tapi dia berteriak, seakan memaksaku untuk mendengarkan.
kuatku semakin diruntuhkannya dengan membawa luka lamaku. memukuliku dengan kekejian masa lalu.
tanganku yang tadinya memegangi dada, kini beralih menutup telinga. mencoba menulikan dari sang suara.
tapi bukannya tak mendengar, suaranya malah berputar di otakku.
semakin banyak yang ku dengar, semakin sakit dadaku.
tak tahan, ku coba memukuli diri sendiri. mencoba mengalihkan rasa sakit dari dalam dada. juga mengalihkan suara dipikiran ku.
ku coba pukul tangan yang sebelah, tapi tak berasa. ku coba cubit sampai berdarah masih tak berdampak, rasa sakit dari dalam itu masih terasa. teriakan di otakku juga malah semakin lantang.
tangisku semakin menggila, air mata yang turun semakin deras. ku coba tahan mengingat kamera yang masih terbuka, bisa membuat siapa saja melihat aku yang tertekan.
aku takut kalau lagi lagi harus mendengar kata , “Dasar gila.” sudah cukup aku dikata gila. tak mau semakin banyak menerima cacian, ku tutup kamera.
ku ambil pisau yang biasa ada di meja belajar.
“Maaf” pitaku, ku tunjuk pada diri sendiri yang pernah berjanji tuk tak melukis goresan baru di tangan.
sorry if you can relate