ruthlessrwar

Sebuah kenangan (Alternative Ending)


Langit makin gelap, jam juga sudah menunjuk pukul 8 malam. Yang artinya disinilah akhir dari kegiatan Ospek.

Lega rasanya bagi para mahasiswa baru berhasil melewati masa terkelam dalam dunia perkuliahan. Tak ada lagi tugas tugas aneh yang akan mereka terima, tak akan ada lagi teriakan dari Yuta dan teman temannya, mereka juga tak lagi menerima tingkah jahil para kakak tingkatnya, semua berakhir malam ini.

Akhir yang cukup indah. Walau meninggalkan keluh kesah. Para panitia juga tak kalah lega, segala beban yang mereka tanggung beberapa bulan terakhir ini kini perlahan lenyap. Yang tersisah kini hanya rasa haru.

Banyak letih yang mereka tanggung untuk menyiapkan acara ini. Dari tidur yang semakin singkat untuk menyusun detail acara ini. Rapat tiap saat tiap waktu dan tiap sempat. Pencarian dana yang bahkan berakhir drama seperti yang terjadi pada Kaylie dan Jennie. Perubahan acara yang membuat tiap divisi berulang kali harus melakukan revisi. Atau paling sering berbeda pendapat membuat tiap diskusi berakhir pukul tiga pagi.

Walau tak bisa dipungkiri, letih itu yang membuat mereka lebih mengerti satu sama lain. Mereka sama sama menguatkan ketika letih mereka rasanya ingin cepat cepat ditinggalkan saja. Mereka sama sama berusaha menciptakan suasana ternyaman di kepanitiaan agar rasa letih itu tak kerap datang.

Dan kini semua letih mereka rasanya terbayar dengan sempurna.

Panitia Ospek dan segala ceritanya, kini akan menjadi kenangan indah.

“KAYLIE SINI FOTO!”

Lautan manusia yang tadinya memadati GOR ini, kini telah surut. Hanya menyisahkan para panitia yang asik mengabadikan momen terakhir mereka menjadi satu kesatuan.

Kaylie dari tadi hanya duduk di ujung lapangan, memperhatikan para anggota panitia yang asik menikmati hari terakhir mereka mengurus kepanitiaan. Ada yang berkumpul dengan divisi masing masing, ada yang saling memberi tanda tangan pada baju panitia, dan pastinya ada yang asik mengabadikan moment sepreti Bulan, Johnat dan Yemi yang kini melambai meminta Kaylie mendekat. Dengan senyum cerah gadis itu berlari mendekat.

Hal yang paling Kaylie syukur di kepanitiaan ini adalah bertemu dengan ketiga orang ini.

Pertama kali mengetahui bahwa divisi acara hanya terdiri dari empat orang, Kaylie sudah putus asa dahulu. Siapa yang sanggup mengurus hampir seluruh acara dan hanya dibantu oleh 3 orang? dulu rasanya itu mustahil.

Sampai Kaylie bertemu mereka, ketiga orang yang mampu mewujudkan mustahil yang Kaylie pikir.

Sean Johnatan, yang selalu berusaha untuk mengerti dan membela Kaylie. Bulan Tamma, yang paling sabar menghadapi maunya Kaylie. Kimberly Yemi, yang selalu bisa menghibur kaylie. Ketiganya seperti kombinasi yang memang harus ada disisi Kaylie.

“Pelan aja Kay” tegur Bulan ketika Kaylie sudah berada di tengah tengah mereka.

Kempatnya berdiri sejajar, dengan Kaylie dan Yemi dihapit oleh Johnat dan Bulan.

“Bang Doy tolong fotoin ya!” teriakan Yemi membuat Doy yang berdiri di dekat mereka jadi menoleh, lalu dengan sigap meraih ponsel Yemi.

Ah iya, soal Deandoy, ini pertama kali Kaylie dan Doy bertemu lagi setelah kejadian yang, entahlah, mungkin bisa disebut pengakuan cinta? Kaylie sebenarnya diam diam mencari Doy sedari tadi, jelas ada yang harus mereka bicarakan.

Ada atmosfer canggung yang hanya mereka berdua rasakan.

Doy sempat menoleh pada Kaylie, sebelum tatapan mereka bertemu sedetik dan Doy cepat cepat mengalihkan fokusnya pada ponsel Yemi.

“Pose”

Hanya dari tatapan itu Kaylie bisa tau, Doy menghindar.

Yemi yang tak sengaja menyenggol Kaylie, menyadarkan gadis itu. Ia melirik kemudian dengan cangung mengikuti ketiga temannya yang mulai bergaya.

Setelah kira kira sudah nyaris belasan foto, tiba tiba saja Tenn Uta Teo Jeffry dan Juan datang, dengan sok asik ikut bergaya mulai mengacau.

“NGAPAIN SIH!” teriak Kaylie kesal.

“lanjut aja pak motonya!” teriak Jeffry tak mempedulikan tatapan kesal Kaylie.

“gaya monyong maco sob” itu pinta dari Uta yang dengan bodohnya diikuti para anteknya.

Kaylie mendesis kesal, namun akhirnya memilih kembali tersenyum takut kalau wajah kesalnya tertangkap kamera dan bisa jadi aib baginya.

Doy tersenyum dari balik kamera melihat perubahan drastis dari wajah gadis itu. Doy menggeleng, lagi lagi ia tak fokus karna Kaylie.

“tu wa ga!”

Satu lagi foto yang berhasil tertangkap.

“Lagi pak! sekarang pose memberikan cinta pada Anya!”

Permintaan Uta terus berlanjut, tiap satu pose berhasil ditangkap ia masih saja terus meminta lagi dengan berbagai request foto aneh. Hingga rasanya kini sudah puluhan gambar yang ditangkap kamera ponsel Yemi.

Doy pun akhirnya menyerah, “Udahan sat, nagih mulu”

“Makasih, bang.” Yemi menerima kembali ponselnya.

“Eh Doy! lo pengen foto sama Kaylie kagak? gue fotoin sini”

Pertanyaan Tenn barusan sontak membuat Kaylie dan Doy kembali menatap satu sama lain, lalu sepersekian detik kemudian saling mengalihkan pandangan.

First Date pt.2


Gabriella Clazetta.

Gue tegasin, gue menolak menebak.

Tapi gue juga gak bisa mengelak, ada kalanya di luar kuasa gue sendiri, otak gue menciptakan tebak tebakan. Menebak hal hal yang belum gue ketahui. Dan kemudian, kecewa.

Sama seperti ketika gue mendengar nama ‘Thamrin’ keluar dari mulut Johnatan, di luar kuasa gue, gue menebak restoran mahal berbintang lima yang mana akan Johnatan tuju. Bukannya gue berharap Johnatan akan membawa gue ke tempat mahal. Cuman, Thamrin dan kemewahan adalah pasangan serasi yang selalu bersama. Makanya tebakan pertama yang gue pikir cuman soal restoran bintang lima.

Gue nggak kepikiran sedikitpun kalau Johnat yang sekarang sedang memesan nasi goreng pinggir jalan, mengajak gue makan di sidewalk persis di samping lampu lalu lintas.

Gue nggak kecewa, tapi bingung. Gue diam, mencoba mencerna. Gini, kita baru selesai makan, dan kenapa kita harus makan lagi? Dan dari banyaknya tempat makan di Thamrin kenapa harus di pinggir jalan? Kenapa harus tepat di hadapan macetnya lampu merah? Semakin gue pikirin, semakin gue merasa… ada yang aneh sama Johnatan.

Ini hanya tinggal beberapa jamkan? Setelah ini mungkin kami nggak akan pernah mengobrol lagi. Urusan gue sama Johnat selesai. Gue hanya perlu bertahan beberapa jam lagi untuk keanehan cowok satu ini.

“Nih”

Johnat datang dengan dua piring nasi goreng di tangannya, lalu tanpa permisi duduk di samping gue.

“Makasih.” Gue meraih piring dari tangan Johnatan, meletakannya di atas paha gue. Belum punya niat untuk memakannya, bahkan perut gue masih terasa kenyang.

Beberapa menit kita nggak punya obrolan, karena Johnatan yang sibuk menyantap nasi gorengnya, dan gue diam menatapi mobil yang berlalu lalang.

“Tebak, ada berapa penumpang di mobil merah ono.”

Gue menoleh sekilas pada Johnatan, dia kini menunjuk lurus tepat pada mobil merah yang berhenti karena lampu lalu lintas. Gue nggak mengerti ke mana arah obrolan ini, dan gue juga nggak tertarik buat tau. Makanya gue cuman jawab seadanya, “Tiga kali.”

“Pasti salah.” Jawab Johnat percaya diri. “Pasti lima.”

Tanpa sadar gue menoleh remeh, “Gak udah sok tau.”

“Mau gue buktiin?” Johnatan menatap gue menantang. “Kalau gue bener, lo turutin tiga kemauan gue. kalau lo yang benar sebaliknya.”

Gue mendengus. Aneh, kekanak kanakan, gue heran kenapa modelan gini yang jadi buaya. Sebuta apa cewek cewek yang mau sama dia?

“Deal, gak?” tangan Johnat terulur di hadapan gue.

Tapi gue gak tertarik sedikitpun, gua nggak mengacuhkannya.“Gue bukan jin.”

“Takut kalah ya?”

Cukup dua kali ketemu Johnatan, gue udah tau kalau dia selalu maksa. Dia gak bakal berhenti sampai gue menuruti kemauannya, persis kayak Jeffryan. Dan gue terlalu malas buat omong kosong kayak gini.

“Satu aja permintaannya. Deal.”gue menjabat tangannya, menutup perjanjian bodoh itu tanpa mau diinterupsi.

Johnat juga terlihat terima saja. Setelah melepas jabatan tangan kita, dia bangkit berdiri. Gue menatap dia bingung, namun belum sempat gue melontarkan pertanyaan, dia udah lebih dahulu melangakah.

Berjalan lurus menuju ke jalan raya.

Gue bisa lihat kalau tujuan dia lurus tepat pada mobil yang sebelumnya kita bicarain. Gue udah hampir bangkit meneriaki dia, sebelum dari kejauhan gue lihat dia mengetuk jendela mobill tersebut lalu berbicara dengan orang yang ada di dalamnya.

Si licik satu itu, sengaja mengetuk pintu bagian tengah, dari jauh gue bisa melihat ada tiga orang yang duduk di tengah, dan pastinya ada dua orang di depan. Jadi total semua penumpangnya ada

“Lima.”

Gue kalah.

Entah apa yang dia bicarakan di sana, tapi gue lihat sebelum dia berbalik, dia sempat menutup penutup tangki mobil tersebut yang sedari tadi terbuka. Lalu, dia berlari kembali pada tempat duduk kami dengan senyum sumringahnya.

“Gue bener.”

Kalimat pertama yang dia lontarkan setelah kembali duduk di samping gue.

Emosi gue memuncah, gue emang susah menutupi rasa kesal, apa lagi ketika dengan sengaja emosi gue dipancing. Wajah gue menekuk, dan melipat tangan dengan kasar. “Lo ngapain sih anjir tadi?”

Johnatan masih senyum, sambil menggeleng. “Enggak, itu gue cuman mau bantuin dia nutup tangki mobilnya aja. tapi biar gak dikira ngerusak mobilnya, ya gue ijin dulu bantuin.”

Seakan semua kosa kata yang gue punya hilang tiap kali mendengar pemikiran Johnatan.

“Sekarang turutin kemauan gue.”

“Apa mau lo?”

“Ajarin gue ngepang rambut.”

Ada beberapa detik hening di antara kita, detik detik di mana gue berharap dia akan menyengir—seperti yang dia lakukan sepanjang hari ini, lalu mengatakan kalau dia hanya bercanda.

Tapi kemudian kalimat yang keluar malah, “Di sini aja belajarnya, minjem rambut lo.”

Hal yang setelahnya terjadi adalah badan gue yang masih belum bergerak Johnat putar hingga menghadap ke samping, gue juga bisa merasakan gerakannya membagi rambut gue.

Gue harusnya bisa menolak, tapi gue memilih tetap diam. Gue hanya diam ketika jemarinya perlahan menelusuri tiap helai rambut gue, ketika dia menggerakan kepala gue dengan lembut, ketika dia bertanya apa gue merasa kesakitan.

Gue kehilangan kendali. Kehilangan kendali atas suara gue yang nggak bisa nolak, atas pergerakan tangan gue yang nggak bisa mendorong dia, atas perasaan gue yang bodohnya… menyukai keadaan ini.

Keadaan di mana, ada gue dan Johnatan di antara padatnya manusia mengantre di bawah lampu lalu lintas. Ada gue dan Johnatan di antara orang yang berlalu lalang. Ada gue dan Johnatan di antara debu debu yang keluar dari kendaraan. Ada gue dan Johnatan di antara gelapnya malam dan terangnya lampu jalanan.

Keadaan di mana, ada gue dan Johnatan yang duduk bersebelahan tengah belajar mengepang.

First date


Sean Johnatan.

Gabriella Clazetta, lucu kalau marah.

Mungkin banyak orang yang udah mengenal Zetta akan menentang. Bahkan gue yakin, dia sendiripun nggak akan suka gue sebut lucu.

Bilanglah gue gila, tapi mungkin begitu adanya. Karena ada hal yang rasanya menyenangkan, melihat dia dengan alisnya yang menekuk nyaris bertautan, matanya menyipit sewaktu bibir ranumnya meluncurkan kalimat kasar, pipinya sesekali mengembung mirip balon yang siap meletus, juga, anak rambutnya yang jatuh ke depan terus menerus.

Man, kalau ini bukan lucu, gue nggak ngerti harus jelasin gimana lagi. Daripada takut pada wajah galak dan ucapan kasarnya, gue malah tertawa dalam hati dan menanggapi semua ocehan dia dengan senyum lebar.

“Gue paling gak suka sama sesuatu yang berlebihan. Kayak gak ada cara lain aja, kesel gue.”

Tadi setibanya kita di tempat makan yang gue mau, kita langsung menuju kasir untuk memesan makanan. Bersamaan dengan sepasang kakek nenek yang berdiri di belakang kita. Sewaktu pesanan kita sudah selesai, dan kita berbalik untuk mencari tempat duduk, tiba tiba ada kejadian aneh dari pasangan di belakang kita.

Hidung si kakek patah.

Zetta menjerit, gue juga sempat terperanjat. Sampai gue sadar itu hidung buatan, dan kakek kakek itu adalah Jeffryan! Iya, Jeffryan Giovanno. Di saat bersamaan, Zetta juga tersadar. Setelah itu dia kelihatan marah dan pergi gitu saja.

Gue nggak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Cuman daripada minta penjelasan, gue lebih memilih mengejar Zetta yang sudah duduk di kursi paling pojok ruangan.

Dari tadi dia cuman ngomel sambil sesekali mengetik di poselnya. Gue nggak berani bertanya, takut dia merasa gue mau ikut campur, lagi. “Sumpah ya anjing,” jeda, dia menyantap sesendok daging sapi lengkap dengan sausnya yang melumer. “Gue mau marah. Lebay banget.”

Zetta kelihatan nggak sadar kalau saus dari daging tadi jatuh di lengan bajunya. Gue ketawa entah keberapa kalinya. Dia masih terus ngomel dan gue nggak mau menginterupsi. Jadi gue langsung ngambil dua lembar tisu, meraih tangannya, dan memberishkan legan bajunya.

Gerakan juga ocehan Zetta berhenti, dan pasti itu karena gue. Tapi gue gak merasa ada yang salah dari tindakan-sangat-baik-membersihkan lengan baju seseorang, jadi gue tetap diam dan berusaha fokus pada noda di lengannya.

Setelah selesai, gue menoleh, menatap Zetta. Gue pikir dia akan tersentuh dengan tindakan gentleman yang barusan gue lakukan. Tapi, begitu melihat tatapan sinisnya, gue tersadar daripada tersentuh, tatapan itu lebih menunjukan keinginan Zetta memukul gue saat itu juga.

“Kenapa, Zet?” Tanya gue santai.

Dia menarik matanya ke atas, “Makasih.” Lanjutnya dengan nada ketus.

“Baper ya?” gue jelas tau jawabannya enggak. Cuman, lihat muka dia sekarang, kalau ini di film animasi mungkin asap udah keluar dari telinganya. Lagi, Zetta lucu kalau marah.

“Lo jangan bikin gue tambah emosi.”

“Oh, lo lagi emosi?”

Mata Zetta membulat, mungkin nggak percaya sama apa yang dia dengar. “Lo masih nanya?”

“Lo gak ngasih tau gue?”

“Jadi dari tadi gue ngomel ngomel menurut lo lagi apa? Doa sebelum makan?”

Gue mengedikan bahu tak acuh, “Gue gak ngerti aja, apa yang bikin lo marah? Kalau karena Jeffryan, bukannya itu lucu?”

“Dia nguntitin gue, itu lucu?” suara Zetta terdengar meninggi, tapi nggak mengusik gue sedikitpun.

Gue tetap membalas dia dengan tenang, “Lo tau dari mana dia nguntitin lo? Siapa tau dia emang cuman mau nyamar aja. Gue malah kepikiran dia mau bikin channel Youtube yang isinya social experiment.”

Zetta mengangga, mungkin takjub dengan pemikiran jangka panjang gue. “Wah…” dia kehabisan kata.

“Impressed?”

Wajahnya masih sama, bahkan sekarang nampak jauh lebih marah. Dan itu yang gue harapkan.

“Lo nyebelin, tau gak?” Dia menyandarkan tubuhnya dengan tangan dilipat di depan dada, menatap gue jengah. Bossy.

Gue gak menyerah, gue malah mendekatkan bangku gue pada meja, lalu memajukan badan gue, hingga jarak kita semakin dekat. “I’m complimenting you.”

“Thank you, tapi gue gak ngerasa dipuji.”

“Jadi lo mau gue puji dari hati banget?”

Zetta mengangga lebar dengan wajah kesalnya, dia sudah menegakkan badannya sekarang, “Stop”

Gue manarik badan gue untuk duduk bersandar, gue nggak perlu lagi buat meneliti satu persatu yang dia pakai, karena sejam mentapi dia udah membuat gue cukup hapal penampilan dia saat ini.Jadi hal yang mudah buat gue memuji dia saat ini juga.

“Gue suka cincin lo, gak terlalu besar, tapi cukup bikin jari jari kelihatan manis.”

“Gue bakal nendang lo, kalau masih lanjut.”

“Bulu mata lo lentik, bikin mata hitam pekat lo makin cantik.”

Zetta memperagakan gerakan muntah, “Ew.”

“Gue juga suka—“

“Stop, lo budeg y—“

“Tai lalat di hidung lo.”

Kemudian, tiba tiba aja dia diam. Gue menaikan sebelah alis gue.

Gue bukan tanpa sebab dipanggil buaya darat. Ada banyak hal dari cewek cewek yang gue mengerti, salah satunya, gimana perasaan mereka akan meleleh pada perhatian-perhatian kecil. Gue kira hal ini nggak akan berlaku buat cewek galak yang selalu berusaha kelihatan nggak tertarik sama gombalan buaya, tapi melihat dia yang terdiam dengan mata mengunci tatapan gue, gue sadar dia juga tetap cewek.

Dia berdehem singkat, kemudian kembali menatap gue. “Makasih banyak.” Ucapnya tegas dengan tatapan berusaha mengintimidasi gue. “But you really really have to stop it.”

Marah lagi dong.

“Kalau gue gak mau?”

Dan Zetta kelihatan kembali marah.

“Gue bakal beneran nonjok lo,” Zetta nggak bercanda, dia udah siap melipat lengan bajunya, bahkan bangkit berdiri. “Gue sabuk merah taekwondo, jadi gak usah takut buat mukul balik.”

Tawa gue yang dari tadi gue tahan dalam hati, menyembur keluar.

“Sinting ya lo? Gue ngajak ribut, bukan lagi stand up comedy!”

Gue susah payah menahan tawa gue melihat betapa lucunya Zetta saat ini. Di sela tawa gue, gue berusaha meraih tangannya, lalu menariknya untuk kembali duduk.

“Apaan sih! Jangan pegang pegang!” tangan gue dihempas begitu saja setelah ia kembali duduk.

Setelah berhasil menahan tawa, gue menatap dia dengan wajah sumringah, dan mendapati wajah kesal dan tertekuknya. “Emosian banget.”

“Emang!” balas Zetta secepat kilat lalu memukul lengan gue dengan kencang. “Udah berapa kali gue bilang! Makanya gak usah deket deket gue.”

Tapi, Zet, ada kepuasaan yang gue rasa tiap kali berdebat sama lo yang galak dan punya kesabaran tipis ini. Gue merasa puas melihat wajah lo yang memerah menahan marah itu, tatapan geram itu, balasan balasan ketus itu, bahkan ketika lo melayangkan pukulan itu.

Bilanglah gue gila, tapi mungkin begitu adanya. Karena gue suka melihat lo yang marah, dan gue memutuskan untuk mencari segala cara biar lo marah lagi.

“Lo pernah makan nasi goreng di thamrin?”

Drive you home

“Setuju, alkohol cuman ngilangin kesadaran kita. Tapi yang bikin kita lepas bebas ya suasananya. Kalau lo mabok sama bokap nyokap lo, rasanya bakal beda kalau lo mabok sama temen.”

Tawa kecil meluncur dari Johnatan setelah mendengar perumpamaan yang Zetta barusan beri.

Perjalanan dari rumah Tenn yang berada di daerah Jakarta Selatan, menuju ke aparatement Zetta yang ada di Depok terasa jauh lebih cepat malam itu. Padahal Johnat sudah menurunkan kecepatan mobilnya. Entah karena jalan yang terlalu lancar atau karena tanpa sadar mereka larut dalam obrolan panjang, keduanya sampai tak sadar kalau satu tikungan lagi mereka akan memasuki wilayah apartement Zetta.

“Lo pernah ketahuan mabok?” sejak tadi, secepat ini Johnat bisa mengubah obrolan namun tetap terasa mengalir. Zetta yang awalnya malas berbicara, bisa dibuat banyak omong oleh Johnatan.

“Pernah sekali gue get wasted pas mabok sama school mates, mereka juga pada mabok. Akhirnya gue pulang dianterin sama acquaintance, dia liat ktp gue, terus diantar ke rumah gue pas ada nyokap bokap.”

Johnat nampak begitu tertarik pada cerita Zetta, ia melirik gadis itu antusias, “Terus reaksi mereka gimana?”

Binar mata Johnat membuat Zetta tertawa geli, padahal cerita aslinya begitu menyayat hati, tapi jadi terasa lucu tiba tiba.

“Ya ngamuk lah, gue dipukul.”

Johnat membelalak, “Asli? Kenceng gak?”

Dari tatapan kaget itu, Zetta kira Johnat akan membelanya. Tapi pertanyaan bodoh itu yang malah keluar, membuat Zetta mendesis sinis.“Ya lo maunya kenceng?” tanpa sadar ia memukul lengan Johnat, melampiaskan kekesalannya pada cowok itu.

Johnat tertawa, “Tapi menurut gue, nyokap bokap lo emang berhak marah.”

Berbicara dengan Johnatan nyaris tiga puluh menit, Zetta kini paham, kenapa banyak perempuan yang akhirnya jatuh pada pesona Johnatan. Bukan karena ucapan cowok ini manis, bukan kata-kata puistis, bukan kalimat menggoda, bukan juga paragraf penuh pujian. Dia hanya mengutarakan sesuai dengan yang diharapkan. Tak melebihkan, hanya terus berusaha agar lawan bicaranya merasa nyaman.

Zetta biasanya tak suka orang tuanya-apa lagi Papa-mendapat pembelaan, tapi kali ini, ia mendudukan diri dengan nyaman menunggu Johnat mengutarakan pemikirannya.

“Mereka masih dalam pemikiran, kalau mereka kerja keras itu bukan cuman nyekolahin otak lo, tapi juga sikap lo. Dan pulang pagi dalam keadaan mabok, bukan termasuk sikap yang benar. Ya, mungkin mereka merasa betrayed?”

Zetta mengangguk membenarkan, “so you justify child abuse?”

“Ya enggak,” Johnat kini menarik rem tangannya, seiring dengan mobil yang berhenti tepat di pintu masuk apartement. “Gue bilang mereka berhak marah, bukan berhak mukul lo. Tetap salah cara mereka melampiaskan marahnya.”

Zetta mengangguk lagi, kali itu lebih mantap. “Right.” Zetta melepas sabuk pengamannya, kemudian menatap Johnat dengan senyum terbaiknya. Kaylie mungkin akan memukulnya kalau tau sekarang Zetta merasa Johnat bak sebuah sinar dalam malam gelapnya. Tapi apapun yang akan terjadi setelah ini, dia tetap akan bersyukur malam ini Johnat sudah tanpa sadar membantunya.

“Johnatan, Thank you buat tumpangan, dan obrolannya.”

Johnat balas dengan senyum tak kalah manis, matanya bahkan sampai menyipit. “Sama sama, Clazetta.”

Zetta melangkah keluar dengan senyum yang masih terpatri di wajahnya, dan Johnatan di balik kemudi menatapi punggung itu sampai pintu mobilnya yang kembali tertutup.

Kaca mobil Johnat turun, menapilkan kembali Zetta di pandangannya. “Hati hati di jal—”

Kalimat itu berhenti tiba tiba dengan wajah Zetta yang memucat pasih. Tanpa sepatah kata apapun gadis itu berlari menuju ke pintu utama aparatementnya dengan tergesa gesa. Johnatan yang tak tau apa yang terjadi, mengikuti pergerakan gadis itu.

Sampai mata mebelalak melihat seorang lelaki dengan seragam SMA dan wajah lebam kini memeluk Zetta erat.

Tanpa pikir panjang Johnatan turun, nalurinya seakan merasakan ada yang harus ia lindungi.

***

Sean Johnatan

Gue pernah ikut boxing waktu SMA. Tapi gak bertahan lama, karena ketahuan bokap. Bokap gak pernah setuju gue ikut kegiatan kegiatan di luar pelajaran sekolah. Dia cuman mau gue fokus sama belajar gue, dan bisa melanjutkan bisnis dia.

Tapi meski sebentar, gue rasa gue masih cukup mumpuni menerapkan beberap hal yang sempat gue pelajari di sana. Juga, tubuh gue yang bisa dibilang kayak raksasa ini biasanya bakal bikin lawan gue ciut duluan.

Jadi gue gak pernah takut buat bertarung.

Mungkin hal itu juga yang bikin gue malah memarkirkan mobil di depan apartement Zetta sembarangan, lalu turun dan menghampiri Zetta beserta anak cowok berseragam SMA yang mukanya babak belur itu.

Gue si petarung ini, merasa mau mukulin siapapun yang sudah bikin bocah SMA itu jadi sehancur ini.

Gue menghampiri mereka dengan wajah panik, tapi belum sempat gue bertanya ada apa, suara pilu dari cowok yang kini menangis di pelukan Zetta membuat gue membatu.

“Aku berhasil ngelindungi mama…” “… dari pukulan papa.”

Bahkan gue yang dicap gak punya hati, merasa patah hati kini.

Gabriella Clazetta

Ada banyak hal di dunia ini yang gue gak bisa tebak. Dan gue cukup malas menebak nebak hal yang gak pasti. Masalahnya, tiap kali gue berusaha menebak gue bukannya menebak dengan benar, malah menciptakan ekspetasi ekspetasi tinggi, membuat sebuah harapan, dan berangan tebakan paling hebat. Yang kemudian dipatahakan gitu aja oleh dunia jahat.

Waktu gue kecil, gue selalu menebak nebak jam berapa tepatnya Papa akan menjemput gue dari sekolah. Gue selalu menebak pukul 11—tepat pulang sekolah. Namun ternyata sampai jam 2 siang Papa tak muncul. Berakhir guru gue bakal manggil Mama, atau mereka yang mengantarkan gue pulang.

Gue waktu itu gadis naif yang berusaha mengerti kesibukan Papa.

Setelah tak pernah dijemput, gue malah menebak hal lain. Saat pengambilan rapot, gue menebak kalau Papa akan menunjukan wajah bahagianya melihat nilai nilai gue yang nyaris sempurna. Namun, hari itu, Papa bahkan tak memunculkan batang hidungnya di sekolah gue.

Sekali dua kali tebakan gue salah, gue masih merasa itu hal biasa.

Kemudian di lain kesempatan saat pertama kali gue tampil teater, gue kembali menebak. Di bangku sebelah mana Papa, Mama dan Jio akan duduk. Kala itu tebakan gue, mereka berada di bangku paling depan, dengan banner nama gue dan kamera Papa yang akan merekam gue di atas panggung. Namun, setelah nyaris sepuluh kali menyisir tiap sudut di gedung tempat gue tampil, yang gue temui cuman Jio yang duduk di barisan tengah bersama beberapa temannya. Gue masih belum mau menyerah menebak sampai tebakan gue benar.

Kali itu hari paling berharga buat gue, ulang tahun ke 17. Sebenarnya, kala itu kepercayaan gue sudah sangat menipis. Tapi gue rasa Papa tak mungkin sejahat itu akan melupakan ulang tahun putri pertamanya. Jadi gue kembali menebak, hadiah seberharga apa yang akan Papa beri untuk ulang tahun gue ini.

Dan seperti paragraf lainnya, Papa kembali memberi namun pada tiap harapan yang gue taruh padanya.

Papa memang tak melewatkan ulang tahun gue. Namun, Papa menghancurkannya.

Dia datang dalam keadaan mabuk, menghancurkan kue ulang tahun gue yang Mama buat. Merobek semua hiasan ulang tahun yang sengaja Jio persiapin buat gue.

Menghancurkan gue dan tebakan bodoh gue.

Dengan hadiah yang paling menyakitkan itu, gue memilih untuk berhenti menebak. Berhenti menaruh ekspetasi dan berhenti membuat harapan palsu. Pahitnya kenyataan membuat gue merasa lebih baik dikejutkan oleh rencana semesta, daripada disakiti oleh ekspetasi.

Papa pulang.

Gue tersenyum getir lalu kembali meneguk segelas minuman keras di tangan gue.

Gue sudah gak punya tebakan apa apa lagi, harusnya gue gak merasa sakit, ‘kan?

Pertanyaan gue menggantung di sana, bukan karena gak punya jawaban. Tapi karena gue gak mau mengakui, kalau nyatanya sekarang seluruh otak gue di isi dengan nama Papa, perasaan gue yang seperti dihujam oleh pisau tajam, dan air mata gue yang sudah membendung ingin keluar.

Gak. Gue gak bakal menangisi bajingan, yang sialnya orang tua gue sendiri.

Gue mendongkak, menahan apapun yang ingin keluar dari mata gue.

“Zet”

Gue menoleh sedikit kaget. Mendapati Jeffryan yang sudah mendudukan diri di samping gue.

“Napa lo?”

Jeffryan nampak beda, cowok yang biasanya gangguin gue dengan suara cemprengnya, sekarang bertanya dengan nada paling jarang gue dengar. Tegas dan lembut. Tapi itu gak membuat gue nyaman sedikitpun. Gue kini memutar badan, menoleh ke kanan dan kiri melihat keadaan di sekitar gue.

Selain benci menebak, gue juga benci jadi pusat perhatian. Dan duduk bersama pangeran FISIP berduaan artinya gue baru aja mancing perhatian orang.

“Pergi gak lo!” usir gue tanpa menjawab pertanyaannya.

Jeffryan seperti tak menghiraukan muka panik gue, si kampret satu itu kini malah menyenderkan tubuhnya pada sandaran bangku. “Kata Kaylie lo gak jadi dateng? Terus ngapain di sini?”

“Berubah pikiran.” Jawab gue sekenanya. “Lo bisa pergi sekarang, gak?” tanya gue gak sabaran.

Sekarang banyak cewek cewek yang gue rasa adalah korban PHP Jeffryan ngelirik ke arah gue dengan tatapan ganas. Ini juga yang jadi alasan gue sama Kaylie milih buat jauh jauh dari Jeffryan saat di lingkungan kampus.

Kami terlalu malas berurusan sama kelakuan buaya Jeffryan.

“Berubah pikiran kenapa?”

“Jeff! Sumpah, ya! Pergi gak!” Suara gue meninggi.

Jeffryan nampak menghela napas keras, sebelum bangkit berdiri. “Gue bakal beneran pergi, kalau lo pindah ke meja Joy. Jangan sendirian di sini.”

Joy, salah satu temen gue di BEM yang kebetulan hari ini ada di acara ulang tahun Tenn juga.

Gue sebenarnya malas untuk bangkit berdiri, apa lagi harus meninggalkan satu satunya tempat sepi di rumah Tenn ini—karena nyaris setiap sudut sudah disulap jadi seperti klub. Tapi Jeffryan itu keras kepala, menentangnya hanya membuat semakin banyak mata yang memperhatikan kami.

Jadi dengan malas gue ikut berdiri lalu berjalan lebih dahulu menuju meja Joy.

perasaan itu bergemuruh, seiring detak jantung yang berpacu.

lo ngerasa, lo udah bisa

kalimat itu mengulang kembali di otaknya, seperti radio rusak. sesak kembali ia rasakan, rasa sakit tak dapat tertahan ketika lagi lagi hanya kata menyebalkan itu yang mampu mengisi seluruh pendengarannya. ia berpuluhan kali menutup kuping atau bahkan memukuli kepalanya, berharap dengan itu kalimat barusan berhenti terputar di otaknya.

tapi malang, semua di luar kendali, kalimat yang ia harap tak pernah ia dengar itu, malah makin meracuni seluruh tubuhnya. tak segan relung hatinya juga makin digerogoti menimbulkan rasa sakit teramat dalam.

hingga akhirnya matanya yang sudah memanas dari tadi, akhirnya tak dapat lagi membendung buliran air di pelupuk. air mata hangat itu jatuh seiring perasaannya yang makin kacau.

ia menghela napas, “Gue?”

tanya retoris yang gadis itu ajukan pada dirinya sendiri membuat ia tersenyum miris.

“Gue gak pernah ngerasa begitu.”

gadis itu, tertunduk setelah berhasil menjelaskan... pada dirinya sendiri.

presepsi sering kali menimbulkan mispresepsi. pendapat orang lain tentu akan selalu berbeda beda, tergantung seperti apa mereka melihat sesuatu. pendapat mereka itu bisa saja benar, tapi bisa saja salah. makanya banyak orang yang memilih untuk bertanya dalam pikiran saja, takut kalau pendapat salah.

itu sebabnya gadis yang kini menangis itu, tak pernah suka menebak

makanya gadis itu tak pernah suka mendengar pendapat orang lain, apa lagi hanya berdasar penilaian subjekti semata.

terus berjuang, ya.” itu kata mereka. “tak sanggup” itu balasku.


sering di suatu pagi,

tidurku yang baru nyeyak tiga jam, dibangunkan suara teriakan ibu. meski dengan kepala pusing serta mata berat, ku paksa membangkitkan raga yang tadinya dipeluk erat ranjang.

bahkan ketika jiwa belum sadar, bisa ku rasakan jantungku masih berdegup dengan kencang. dan ketika sudah sadar sepenuhnya, cemas ku kembali datang.

lagi, perasaan takut menyergap.

malam sebelumnya aku sudah menangis sampai enggap. menyurahkan segala sesak. mempertanyakan segala resah. melawan takut yang tak pernah ada habisnya. melawan suara yang datang entah dari mana.

aku berjuang sendirian dalam keheningan malam.

tapi tak berbuah apa apa.

pagi ini masih sama seperti malam sebelumnya, aku dihantui rasa cemas yang berlebihan. hanya bisa berharap tak semengerikan tadi malam.

aku masih meratap ketika teriakan ibu semakin kencang, memaksa aku untuk bangkit dan kembali beraktivitas.

pagi itu aku mulai dengan doa. hanya satu yang ku doakan pada Sang Bapa, biar hari ini aku bahagia.

tapi hari ini doaku seperti belum terjamah oleh-Nya.

dengan segala cemas yang ku usahakan baik baik saja, aku bersiap siap memulai kelas online.

itu hanya kelas bahasa inggris biasa. kita berbicara bercerita dan belajar bersama. tak ada yang salah. tak ada yang menyakitkan. bahkan kita belajar dalam canda dan tawa.

tapi bukannya ikut tertawa, aku malah kembali merasa ketakutan.

kala itu di pertengahan pelajaran, jantungku kembali berdetak cepat. seperti ada sesuatu yang menahan dadaku, rasanya menjalar ke seluruh bagian dada. sesak kembali ku rasa. napas ku mulai berat, tenggorokanku terasa tercekat. dengan teramat kesusahan ku coba bernapas manual. lelahku bernapas nyatanya masih harus ditambah dengan kepala yang kembali terasa berat.

tak banyak yang dapat ku lakukan, hanya bisa memindahkan tanganku ke dada. mencoba menahan segala hal yang membuatnya merasa kesakitan.

sialnya usahaku sia sia, yang ku pikir akan segera baik baik saja. malah rasanya seperti tersayat oleh benda tajam.

rasanya teramat sakit, sampai tak sadar mataku yang panas sudah mengeluarkan air mata kesedihan.

“Kenapa?” tanyaku di sela tangis yang semakin terisak.

“itu yang lo dapetin karna gak berguna.”

begitu jawaban sang suara yang datang dari antah-berantah. menyorakiku dengan jahat.

Kalau saja hanya sampai di situ, mungkin masih ada nyaliku untuk menutupi telinga. tapi dia berteriak, seakan memaksaku untuk mendengarkan.

kuatku semakin diruntuhkannya dengan membawa luka lamaku. memukuliku dengan kekejian masa lalu.

tanganku yang tadinya memegangi dada, kini beralih menutup telinga. mencoba menulikan dari sang suara.

tapi bukannya tak mendengar, suaranya malah berputar di otakku.

semakin banyak yang ku dengar, semakin sakit dadaku.

tak tahan, ku coba memukuli diri sendiri. mencoba mengalihkan rasa sakit dari dalam dada. juga mengalihkan suara dipikiran ku.

ku coba pukul tangan yang sebelah, tapi tak berasa. ku coba cubit sampai berdarah masih tak berdampak, rasa sakit dari dalam itu masih terasa. teriakan di otakku juga malah semakin lantang.

tangisku semakin menggila, air mata yang turun semakin deras. ku coba tahan mengingat kamera yang masih terbuka, bisa membuat siapa saja melihat aku yang tertekan.

aku takut kalau lagi lagi harus mendengar kata , “Dasar gila.” sudah cukup aku dikata gila. tak mau semakin banyak menerima cacian, ku tutup kamera.

ku ambil pisau yang biasa ada di meja belajar.

“Maaf” pitaku, ku tunjuk pada diri sendiri yang pernah berjanji tuk tak melukis goresan baru di tangan.


sorry if you can relate

Bogor dan Hujan


“Kamu nulis apa?”

Doy menunduk mecoba mengintip apa yang sedari tadi Kaylie coba tulis pada legannya. Lengan Doy yang tadinya tergeletak pada paha Kaylie jadi sedikit bergeser, dan Doy bisa rasakan mata pulpen Kaylie jadi bergerak tak tentu arah.

Kaylie mendongkak, memicingkan matanya sebal. “Dikit lagi selesai! kamu jangan gerak gerak!”

Gadisnya mengomel sebal dengan nada tinggi juga wajahnya yang berkerut.

Barusan itu ekspresi kesukaan Doy.

Ia tersenyum simpul sebelum tangannya yang bebas meraih puncak kepala Kaylie, lalu ia elus dengan lembut. Doy luar biasa sayang pada gadis ini.

“TARA!!!!!”

“udah?”

Kaylie mengangguk dengan semangat, kemudian mengangkat tinggi lengan Doy yang baru saja ia coret.

Doy tertawa tanpa suara, “Ini tangan cuman boleh dipeluk, digandeng, ditarik, dipukul, dicium—aku belum pernah cium tangan kamu sih, dicubit sama Kaylie Steffanie” senyum Doy tak hilang selama ia membaca tulisan Kaylie di tangannya.

“Ini yang konteksnya on purpose ya, kalau gak sengaja masih gpp”

“jadi sisahnya harus minta ijin ke kamu?” tanya Doy.

“iya”

“bunda juga?”

“kecuali bunda.”

“papa juga?”

“kecuali papa”

“ucil juga?”

“ucil siapa?”

“Keponakan aku”

“ya kecuali ucil, pokoknya kecuali keluarga kamu sama Yanto.”

“Yanto siapa lagi?”

“Gak tau sih, aku cuman suka aja sama nama Yanto. Namanya bagus.”

Doy hanya mendengus geli mendengar jawaban ngawur pacarnya itu. Kini dia sudah tak sepusing dulu lagi menghadapi tingkah aneh Kaylie. Entah karena sudah terbiasa, atau malah Doy jadi aneh juga.

Kaylie meraih lengan Doy lagi, “Aku gulung ya? boleh ya?”

Kalau saja Doy tak menatap mata gadis itu yang berbinar memohon dengan senyum lucunya mungkin sekarang Doy tak akan sepasrah ini membiarkan lengan tangannya digulung—memaparkan dengan jelas tulisan Kaylie di tangan Doy.

“ganteng pacar aku hehehee”

Doy memutar matanya malas saking serignya ia mendengar kalimat tersbut keluar dari mulut gadis ini. Tak benar memuji, kalimat barusan memang sudah pasti selalu keluar tiap kali gadis ini memaksa keinginannya.

Yang Doy tidak sadari kalimat itu juga jadi sering keluar karena ia yang terlalu lemah tidak bisa menolak pesona kekasihnya.

“Kamu mau kemana habis ini?”

Tak pikir panjang, dengan semangat Kaylie langsung menjawab, “Ke wartas, yuk!”

Doy menggeleng tak setuju, “jauh, macet.”

“Pengennnnnn”

Doy menggeleng, lagi.

“Kita ngedate tuh susah karna kamu sibuk, sekalinya gak sibuk gini diajak gak mau!” rajuk Kaylie, ia melipat tangannya dengan kasar, wajahnya tertekuk dengan bibir sudah mengerucut kesal.

“Bisa jalan di sekitar depok, sama aja.”

Balik, gadis itu kini yang menggeleng dalam diam. Bukan soal tempatnya. Iya Kaylie tau bakal sama aja, tapi dengan memilih perjalanan lebih panjang waktu yang mereka habiskan berdua akan lebih banyak. Juga, akan jauh lebih berkesan jika mereka mencoba tempat lain, bukan cuman keliling gramedia Margonda atau jalan kaki ke Pesona Square.

“Gak seru, itu itu aja. Mana rame lagi.”

Kaylie malu kalau harus mengakui dia ingin berduaan lebih lama. Dia lebih berharap cowok ini peka.

“Ya cari tempat baru”

“kita udah muterin semua pelosok Depok”

“Puncak macet weekend gini.”

“Naik kereta”

Doy mengendurkan bahunya, tampak tak selera pada usul Kaylie. “kamu tau aku gak pernah naik kereta.”

“makanya cobaaaaaaa” Kaylie mengatupkan kedua tangannya, gadis itu menarik bangkunya mendekat pada Doy.“Pleaseeeeee”

Kembali lagi dengan Kaylie si keras kepala suka memaksa, juga bersama Deandoy yang lemah.

Binar mata Kaylie, juga wajahnya memelas adalah kombinasi sempurna yang dapat meruntuhkan pertahan seorang Deandoy.

Doy memalingkan wajahnya.

“yayayayayaaaa” pinta gadis itu lagi.

“ya” Pasrah Doy, seperti biasanya. “pake mobil, bukan kereta.”

Kaylie jelas langsung kegirangan, secepat kilat ia sudah berlari masuk ke dalam mobil Doy.

***

Sore itu perjalanan yang Kaylie harapkan akan berkesan indah malah berujung sebaliknya.

Jangankan indah, berbicara saja Kaylie enggan rasanya. Dari tadi mobil Doy hanya diisi dengan lagu dari radio bersamaan dengan decakan kesal juga omelan dari yang empunya.

Semua itu berawal setelah hujan turun membasahi Bogor.

Tepat setelah mobil Doy turun dari Tol, hujan dengan deras membasahi kota tujuan mereka ini.

Doy yang memang dari awal menolak pergi langsung menyalahkan permintaan Kaylie. Cowok itu terus saja menyebutkan bahwa saran dia tadi benar, dan saran Kaylie salah.

Ditambah lagi ia mendapati pakaian yang Kaylie kenakan kini sangat tipis, bahkan gadis itu tak membawa jaket.

“Lain kali kalau aku bilangin nurut.”

“Apaan sih! kamu tadi nolak karna macet, bukan karna hujan. Lagian bukan aku yang minta hujan!” balas Kaylie tak terima disalahkan.

“Tapi kamu yang minta ke Bogor. Kalau kita di Depok, hujan bukan jadi masalah.”

“Ya terus aku harus gimana? Muter balikin waktu?!” tanya gadis itu sewot.

Kaylie meringkuk di tempat duduknya, lalu membalik badannya memunggungi Doy.

Iya, salah Kaylie tadi memaksa Doy.

Tapi Doy gak bisa langsung marah marah nyalahin dia gitu aja dong! Coba deh cowok itu mikir dari prespektif Kaylie. Alasan Kaylie memaksa jalan jalan ke Bogor yang jauh ini, karena mau punya quality time sama Doy. Kalau tiap hari mereka berdua bisa ketemu tanpa terhalang jadwal rapat sana sini Doy, Kaylie juga udah muak kali sama Doy dan gak akan kepikiran ngajak Doy jalan sampe ke Bogor.

Tapi nyatanya Kaylie gak bisa tiap hari ketemu Doy. Dan tiap bertemu, Kaylie harus mengusahakan pertemuan mereka berkesan.

Kaylie cuman mau mengusahakan agar kisah mereka tak terasa membosankan. Tapi Doy malah dengan enteng menyalahkan keputusannya.

Kalau sudah begini, semua orang sudah tau akhirnya Kaylie si cengeng pasti akan menangis.

Air mata gadis itu jatuh semakin deras, untung ia masih dapat menahan isakannya. Ia tak mau Doy tau ia menangis sekarang. Cowok itu tampak masih marah, mungkin lebih baik ia meluapkan dulu segala emosinya. Walau tak suka disalahkan tapi bukan berarti Kaylie melarang Doy emosi.

Doy memang kini masih dikuasi rasa kesalnya. Jelas terlihat dari raut wajah cowok itu.

Setelah sibuk dengan urusan kampus satu satunya yang ingin Doy lakukan adalah beristirahat. Makanya dari awal cowok itu sudah menolak perjalanan ini. Ia sudah tau kalau perjalanan ini akan sangat menguras tenaganya. Sedari tadi harus bermain dengan pedal, tangannya juga yang harus lihai, ditambah fokusnya yang harus terbagi pada berbagai arah.

Doy juga sudah mencoba menolak dengan mempertimbangkan hal hal buruk yang mungkin akan terjadi. Namun Kaylie menolak mengindahkannya. Tebakan Doy soal macet memang salah, namun hujan di kota penghujan jauh lebih buruk dari sekedar macet.

Tapi apa Doy kesal karena itu?

Jawabannya bukan.

Ketika tangan Kaylie yang mulanya ia gengam mulai terasa dingin, dan bibir bawahnya yang mulai bergetar menahan kedingin tertangkap oleh Doy, itu yang membuat Doy jadi kesal,

Letih Doy tak akan pernah ia beri tahu pada Kaylie, biar dia rasakan sendiri. Ia tak akan mengatakan seberapa pegal kini kakinya, tak akan mengatakan seberapa berusahanya ia membagi fokus pada jalan dan pada tiap cerita yang Kaylie lontarkan. Doy akan simpan sendiri.

Tapi mengenai Kaylie-nya.

Ia kesal pada tindakan yang Kaylie lakukan yang berakhir membuat ia sendiri yang menderita. Kaylie-nya yang keras kepala, dan memaksa. Doy tak ingin menyimpannya sendiri.

Doy bukan hanya ingin meluapkan emosinya. Ia ingin gadis ini lebih sadar, terkadang perlu mendengar pendapat orang lain. Terkadang perlu memikirkan konsekuensi. Terkadang tak boleh terlalu keras kepala. Bukan untuk menekannya tapi untuk yang terbaik bagi dia. Doy tau ia juga salah terlalu lemah hingga tak bisa menentang pinta Kaylie, cuman kalau saja Kaylie tak memaksa mungkin ia tak akan kedinginan sendiri seperti ini.

Bukan seperti pernyataan Kaylie barusan. Doy tak ingin Kaylie memutar waktu, ia hanya ingin Kaylie lain kali lebih mendengarkan sarannya.

Dan beigtulah keheningan tercipta diantara mereka bermenit menit lamanya.

Bahkan ketika mereka telah sampai ke tujuan, hanya Doy yang memilih turun. Kaylie masih tetap setia meringkuk dalam bangkunya.

Sebuah Kenangan


Langit makin gelap, jam juga sudah menunjuk pukul 8 malam. Yang artinya disinilah akhir dari kegiatan Ospek.

Lega rasanya bagi para mahasiswa baru berhasil melewati masa terkelam dalam dunia perkuliahan. Tak ada lagi tugas tugas aneh yang akan mereka terima, tak akan ada lagi teriakan dari Yuta dan teman temannya, mereka juga tak lagi menerima tingkah jahil para kakak tingkatnya, semua berakhir malam ini.

Akhir yang cukup indah. Walau meninggalkan keluh kesah. Para panitia juga tak kalah lega, segala beban yang mereka tanggung beberapa bulan terakhir ini kini perlahan lenyap. Yang tersisah kini hanya rasa haru.

Banyak letih yang mereka tanggung untuk menyiapkan acara ini. Dari tidur yang semakin singkat untuk menyusun detail acara ini. Rapat tiap saat tiap waktu dan tiap sempat. Pencarian dana yang bahkan berakhir drama seperti yang terjadi pada Kaylie dan Jennie. Perubahan acara yang membuat tiap divisi berulang kali harus melakukan revisi. Atau paling sering berbeda pendapat membuat tiap diskusi berakhir pukul tiga pagi.

Walau tak bisa dipungkiri, letih itu yang membuat mereka lebih mengerti satu sama lain. Mereka sama sama menguatkan ketika letih mereka rasanya ingin cepat cepat ditinggalkan saja. Mereka sama sama berusaha menciptakan suasana ternyaman di kepanitiaan agar rasa letih itu tak kerap datang.

Dan kini semua letih mereka rasanya terbayar dengan sempurna.

Panitia Ospek dan segala ceritanya, kini akan menjadi kenangan indah.

“KAYLIE SINI FOTO!”

Lautan manusia yang tadinya memadati GOR ini, kini telah surut. Hanya menyisahkan para panitia yang asik mengabadikan momen terakhir mereka menjadi satu kesatuan.

Kaylie yang dari tadi hanya diam terharu memandangi mereka jadi tersentak monoleh ke belakang, mendapati Johnat, Bulan dan Yemi yang melambai lambai memintanya mendekat.

Dengan senyum cerah gadis itu berlari mendekat.

Hal yang paling Kaylie syukur di kepanitiaan ini adalah bertemu dengan ketiga orang ini.

Pertama kali mengetahui bahwa divisi acara hanya terdiri dari empat orang, Kaylie sudah putus asa dahulu. Siapa yang sanggup mengurus hampir seluruh acara dan hanya dibantu oleh 3 orang? dulu rasanya itu mustahil.

Sampai Kaylie bertemu mereka, ketiga orang yang mampu mewujudkan mustahil yang Kaylie pikir.

Sean Johnatan, yang selalu berusaha untuk mengerti dan membela Kaylie. Bulan Tamma, yang paling sabar menghadapi maunya Kaylie. Kimberly Yemi, yang selalu bisa menghibur kaylie. Ketiganya seperti kombinasi yang memang harus ada disisi Kaylie.

“Pelan aja Kay” tegur Bulan ketika Kaylie sudah berada di tengah tengah mereka.

Kempatnya berdiri sejajar, dengan Kaylie dan Yemi dihapit oleh Johnat dan Bang Bulan.

“Bang Doy tolong fotoin ya!” teriakan Yemi membuat Doy yang berdiri di dekat mereka jadi menoleh, lalu dengan sigap meraih ponsel Yemi.

Ah iya, setelah kejadian tadi baru ini Kaylie dan Doy bertemu lagi.

Ada atmosfer canggung yang hanya mereka berdua rasakan.

Doy ahirnya mengalihkan fokusnya pada ponsel Yemi. “Pose” titahnya. Keempatnya kini mulai bergaya. Pose senyum kaku, senyum manis, senyum bersama jempol ala bapak bapak, sampai pose menunjuk Kaylie.

Setelah kira kira sudah nyaris belasan foto, tiba tiba saja Tenn Uta Teo Jeffry dan Juan datang, dengan sok asik ikut bergaya mulai mengacau.

“NGAPAIN SIH!” teriak Kaylie kesal.

“lanjut aja pak motonya!” teriak Jeffry tak mempedulikan tatapan kesal Kaylie.

“gaya monyong maco sob” itu pinta dari Uta yang dengan bodohnya diikuti para anteknya.

Kaylie mendesis kesal, namun akhirnya memilih kembali tersenyum takut kalau wajah kesalnya tertangkap kamera dan bisa jadi aib baginya.

Doy tersenyum dari balik kamera melihat perubahan drastis dari wajah gadis itu. Doy menggeleng, lagi lagi ia tak fokus karna Kaylie.

“tu wa ga!”

Satu lagi foto yang berhasil tertangkap.

“Lagi pak! sekarang pose memberikan cinta pada Anya!”

Permintaan Uta terus berlanjut, tiap satu pose berhasil ditangkap ia masih saja terus meminta lagi dengan berbagai request foto aneh. Hingga rasanya kini sudah puluhan gambar yang ditangkap kamera ponsel Yemi.

Doy pun akhirnya menyerah, “Udahan sat, nagih mulu”

“EH PAK! lo pengen foto sama Kaylie kagak? gue fotoin sini” Teriakan Tenn sukses membuat hampir seluruh panitia mulai menatapi Doy dan Kaylie dengan tatapan menggoda.

Kaylie jelas langsung merona salah tingkah, “BACOT!”

“Yeu! padahal mau kan lo!” teriak Jeffry.

“DIH SALTING SI GOBLOG!” itu Zetta yang teriak dari ujung.

“BERISIK NYET!”

Kaylie masih sibuk teriak ketika Doy sudah berjalan mendekat ke arahnya, “Ayo mau gak?”

Kaylie yang tak fokus langsung tersentak kaget, membuat wajahnya malah semakin merona.

“AHAHAHA KEK BABI PINK MUKA LU!” pelakunya masih sama, Zetta.

“CIAHHH TUH MAU GAK?”

“RANGKUL AKU BANG RANGKUL!”

“ICKIWIRRR”

“tolong katakan pada dirinya, lagu ini kutuliskan untuknya” ketika yang lain sibuk membri celetukan, Juan malah dengan anehnya mulai menyanyikan Tolong dari Budi Doremi.

Walau rasanya teramat malu, Kaylie akhirnya mengangguk mengiyakan ajakan Doy. ia mulai merapat pada ketuanya itu.

Doy juga mulai mengikis jarak antara mereka. Mendekati Kaylie yang terlihat salah tingkah dan malu. Doy malah gemas melihatnya, rasanya ingin sekali menjahili gadis ini.

Setelah ia berdiri di samping gadis itu, ia berbisik pelan tepat di dekat telinga Kaylie, “Kalau gue tembak di sini mau gak?”

Sontak Kaylie kaget langsung menginjak kaki Doy dengan ganas, “DIEM LO!”

Sakit bukan main rasa injakan Kaylie, tapi rasa sakitnya seolah dikalahkan oleh rasa puas Doy. Doy mengulum senyumnya, menahan tawa karena reaksi Kaylie.

Wajah Kaylie benar benar merah kini bahkan menjalar ke kupingnya. Dalam hati gadis itu sudah mencaci maki manusia yang berdiri di sampingnya ini.

DI KIRA HATI GUE SEKUAT ITU APA?, Kaylie meronta dalam hatinya, “Dah siap belum nih pak? keliataanya masih asik”

Doy berdehem sebentar, berusaha menahan tawanya. “iya udah fotoin aja” titahnya.

“satu dua tiga!”

potret terakhir mereka menjadi ketua panitia dan koordinator acara tertangkap.

*** Hening melanda mobil Doy.

Hampir 10 menit perjalanan berlalu tapi sampai kini hanya suara Finneas di lagunya berjudul “Let's Fallin in Love for the Night” yang mampu memecah hening. Entah ada apa dengan playlist Doy malam ini, sedari tadi Kaylie hitung sudah 4 kali lagu itu yang terulang. Namun ia juga tak berniat sedikitpun untuk menginterupsi. Menyisahkan hening yang lebih panjang lagi.

Kedua insan di dalam mobil itu sama sama lebih memilih menyelami pikiran masing masing yang sudah melanglang buana entah kemana. Kaylie yang biasanya akan mengoceh sepanjang perjalanan kali ini malah direpotkan dengan pemikiran; sepertinya akan terjadi sesuatu antar mereka berdua malam ini. Kaylie dapat melihatnya dengan cukup jelas. Karna seharian Doy benar benar tancap gas, tanpa memberi ruang untuk hati Kaylie istirahat. Banyak tanya tersisah di benak Kaylie seperti; apa maksud Doy soal ucapannya saat mereka mendengarkan HIVI! tadi, atau apa maksud pertanyaan Doy saat mereka ingin mengambil foto tadi.

Ia butuh jawaban, dan Doy tak seharusnya betah diam.

Kaylie mendesah gusar, harus berapa lama lagi sih buat cowo ini mau berani ngomong?

“Hai kaylie”

Kaylie tersentak.

Matanya menoleh pada Doy, ketika suara lelaki yang sedang fokus menyetir ini mengudara melalui radio mobil, mengantikan suara Finneas.

“Gimana penutupan Ospeknya? Seru?”

Kaylie yang dari awal masih bingung dengan keadanan jadi bertambah tak tau harus berbuat apa ketika dihadapkan dengan pertanyaan begini. Apa dia harus menjawab?

Kaylie melirik Doy, berharap cowok itu peka untuk menjelaskan situasi. Tapi Doy nampak tak bergeming, terus diam dengan tatapan lurus ke depan.

Sampai akhirnya karena hening mengisi, Kaylie jadi menjawab radio tersebut, “Seru.”

“Acara ini dari awal sampai penutupan bisa seseru ini, itu juga berkat usaha lo. makasih ya buat tiga bulan lebih ini, mau ngebantu gue nyiptain kegiatan yang suskses besar kayak gini. Makasih buat waktu lo, tenanga lo, ide lo dan semua hal yang udah lo korbanin buat ini. i really appreciate you.” Ada jeda sebentar, sebelum suara Doy kembali terdengar, “Makasih udah jadi partner kepanitiaan gue.”

“Semoga nanti bisa jadi partner gue lagi, di kehidupan contohnya?”

Napas Kaylie seolah tertahan.

Kaylie sudah mempersiapkan dirinya karna tau Doy ingin mengungkapkan perasaan, namun pemilihan kata yang Doy buat benar benar terasa jauh lebih mengena, membuat benteng pertahan yang ia coba bangun roboh begitu saja.

Kaylie yang merasa wajahnya memanas yakin kini wajahnya sudah memerah padam.

Doy juga sekarang sedang panas dingin. Walau bukan secara langsung dia mengucapkan kata itu, tapi tetap saja ada rasa takut, canggung, juga sedikit geli yang ia rasakan kini.

“Kay, kalau gue sebutin satu satu, bakal banyak banget alasan kenapa we'll be the perfect partner, jadi sekarang gue bakal jelasin 10 dari seribu alasan.”

“Pertama, because i love you.”

“Kedua, gue nyaman sama lo. i'm a difficult person to deal with at times but yet, you still stick around.”

“Ketiga, cewek cantik harus pacaran sama cowok galak.”

Kaylie yang dari tadi mendengarkan menyungingkan senyumnya tipis mendegar pernyataan ketiga cowok itu.

“Keempat, karena bluethooth lu udah ada di radio mobil gua.”

“Kelima, karena gue udah sering jajanin lo.”

“Keenam, since we have the opposite personalities, we'll complete each other”

“Ketujuh, karena gue mau chatan setiap hari sama lo.”

“Kedelapan, karena lo pantes dapetin the best version of me.”

“Kesembilan, karena gue gak suka lihat lo sama Jeffryan.”

“Kesepuluh, karena lo udah manggil gue sayang, gue mau manggil lo sayang balik juga.”

Derit rem tangan yang Doy tarik membuat Kaylie yang dari tadi hanya fokus mendengar rekaman Doy jadi tersentak kaget menoleh kesamping.

Mereka kini telah tiba di kostan Kaylie.

“Kaylie” Kali ini, Doy yang langsung berbicara. Tak lagi menggunakan perantara.

Kaylie menghembuskan napasnya, mencoba menetralkan perasaaannya yang sedari tadi sudah berdegup sangat kencang.

Tangan Kaylie menggenggam erat tasnya menyalurkan semua rasa gugup, sebelum berani menoleh pada Doy.

Cowok itu kini tengah menatapinya.

Doy berdehem canggung, ia berusaha menatap tepat di kedua bola mata gadis itu.

“Lo udah taukan perasaan gue, gue bukannya mau ngulur waktu dari kemarin. Cuman gue lagi nyari waktu yang tepat. Dan waktu dengerin HIVI tadi, was my limit to control these feelings.”

“Sorry for took a long time, ” Doy menunduk sebentar, tangannya terulur kedepan kaki Kaylie. Kemudian membuka dashboar dekat kaki Kaylie, di sana ia mengambil sebuah kertas yang terlipat.

Perlahan ia membuka kertas yang ia lipat itu, kemudian ia membuka lebar.

Kertas berukuran poster itu berisikan sebuah gambar yang Kaylie tebak itu buatan Doy.

Ada wajah Doy tertempel disana dengan banyak gambar gambar aneh disekitarnya. Dan paling menonjol, ditengah tengah ada tulisan; “Kaylie, let me be your boyfriend, please?”

Kaylie tak dapat menahan senyum bahagianya, wajah memelas Doy juga tulisan yang tengah memohon itu jelas membuat Kaylie rasanya gemas sendiri.

“jawab”

“AHAHAH gak usah sok lucu lo!”

Doy jadi merengut.

“Jawab Kaylie.”

Kaylie kemudian berusaha menahan tawa juga gemasnya, lalu tanpa pikir panjang gadis itu menjawab,“yes, go ahead”

Doy terbelak kaget, Doy tau gadis ini juga menyukainya. Tapi, ini jawabnya cepet banget? mana sebelumnya masih sempat ketawa. Ini dia gak lagi dibercandain kan?

“beneran?” tanyanya masih tak percaya.

“YA MASA BECANDA?” Kaylie menatap cowok ini sinis lalu memukul lengan cowok itu, bisa bisanya dia malah memnunjukan wajah tak percaya.

Doy tersenyum puas, “Jadi sekarang kita...” ucapan Doy mengatung sambil menatap Kaylie.

Kaylie balik menatap Doy dengan tawa, “Iya itu”

Doy mengangguk anggukkan kepalanya, lalu dengan iseng bertanya, “Boleh pelukan gak?”

“OGAH LO MASIH MAU, BYE GUE BALIK YA!”

“INI KERTASNYA BAWA PULANG!”

Ya itu percakapan pertama mereka setelah resmi menjadi sepasang kekasih.

Closing Ospek; Siapkah kau 'tuk jatuh cinta


Sejam yang lalu tepat setelah selesainya Peleburan atau kalau kampus Kaylie menyebutnya masa pengadilan— masa pembalasan dendam maba pada seluruh panitia dan kakak tingkatnya, para maba dibawa ke Gelanggang Olahraga tempat diselenggarakannya acara penutupan Ospek.

Kalau di kampus lain mungkin penutupan untuk acara ospek fakultas adalah malam inagurasi, namun berbeda dengan kampus Kaylie yang akhirnya memilih meniadakan acara malam inagurasi.

Entah apa yang kakak tingkat Kaylie dulu perbuat, yang jelas perbuat mereka telah memakan korban. Hal itulah yang akhirnya membuat kampus Kaylie memilih untuk mengganti malam inagurasi dengan acara musik seperti saat ini.

Walaupun dalam hati kaylie waswas sendiri, kalau mahasiswanya sebrutal ini tetep aja bakal ada korban lecet lecet.

Desakan dan doronganpun sudah tak dapat dihindari, apa lagi ketika para mahasiswa baru mengetahui salah satu bintang tamu acara penutupan ini adalah HIVI!. Iya, band terkenal di Indonesia itu yang akhirnya menjadi guest star Ospek.

Kaylie sebagai panitia yang berjaga di bagian kiri panggung dari tadi hanya bisa sesekali mengingatkan mereka untuk hati hati. Dan ya sudah jelas tak ada yang mengindahkan ucapannya.

“Sayap kiri, itu yang modus meluk Anya dari belakang geplak dong biji matanya” Itu suara Yuta dari HT.

Cih, para buaya itu ga habisnya ngomongin si Anya—mahasiswa tercantik seangkatan. Kaylie ga iri ya! ga sama sekali. Cuman muak aja tiap eval ngomongin Anya, di grup nanyain Anya, bahkan sampe ke ht, pun masih ngomongin Anya!

Lagian ini Yuta perasaan jaga di belakang kerumanan deh, kok bisa bisanya dia tau ada yang meluk Anya sedangkan Anya aja berdiri di paling depan.

“gue serang dari belakang nih, jo serang dari depan jo” kali ini yang menyahut Ten.

Kaylie mendesis sinis, lalu ikut nimbrung, “Mana berani, si Jo jaga di kiri bareng Zetta”

“Doy aja kalau gitu, Doy tolong jagain Anya dari depan” balas Teo, yang sukses bikin Kaylie membelak menoleh ke cowo yang berdiri disampingnya.

“IH MASIH JADI PEMUJA ANYA?!?!?”

Suara tawa Ten, Teo juga Yuta kini mengisi HT kayaknya dari jauh ketiga orang itu bukan jaga kerumunan tapi malah merhatiin Doy dan Kaylie.

Sedangkan Doy yang tiba tiba dituduh dengan suara melengking Kaylie, cuman menatap gadis itu datar. “Engga”

“Engga apaanya??? itu Teo kenapa berani berani nyuruh lo ???”

“dia kalau di tongkrongan main HP mulu kay. Pas gue liat ternyata lagi nge-screenshoot semua isi highlightnya Anya” tambah ten melebih lebihkan.

“Tuhkan !!”

“Gue main HP balas chat lo, bukan kepoin Anya.” Balasnya santai dengan mata berkeliaran kesana kemari, bahkan setelahnya dengan acuh malah meniup peluit meneriaki mahasiswa baru yang dengan sengaja mendorong kerumunan dari belakang.

Ini Doy bicara bohong atau jujurpun Kaylie ga tau, saking santainya dia ngomong hal ini.

“Bohong”

Doy merogoh saku belakangnya, mengeluarkan ponselnya, lalu menyodorkannya pada Kaylie. “Cek” balasnya dan lagi lagi masih dengan mata mengawasi mahasiswa baru.

“Mau cek gak?”

“Gak elah, gak sopan.”

“Orang gue ngasih ijin. Serius ga mau?”

“CK IYA ENGGA!”

“Engga apa iya?”

“Engga iya kali”

Doy cuman mendengus aja ngeliat respon aneh Kaylie, Sudah hapal tingkah gadis ini kalau lagi salah tingkah.

Inisiatif, Doy memasukan ponselnya ke saku jaket Kaylie. “Kalau berubah pikiran buka aja, pw nya masih sama. Ulang tahun lo.”

“KENAPA SIH MASIH PAKE ITU!”

“Berisik” Doy menutup mulut bawel Kaylie ketika tersadar banyak mata yang jadi memperhatikan mereka. “diliatin orang.”

“Tuy perasaan kita ngundang HIVI! dah bukan Dilan Milea.”

“Ten temen lo suruh tahan napsunya ini lagi di tempat umum”

Komentar aneh dari Ten dan Yuta membuat Kaylie tersadar langsung menjauhkan tangan Doy dari mulutnya. Ditambah ia juga memukul legan Doy dengan keras, “Makanya jangan ngerdus mulu, buaya!” teriaknya kesal.

Doy mengelus lengannya, heran juga kenapa ia dipukul padahal jelas jelas Doy bukan cuman ngerdus.

“Serah dah, gue ke belakang dulu. ” pamit Doy setelah merasa tugasnya di depan sini sudah cukup. Lalu berbalik mulai melangkah ke belakang.

“BALIK BAWAIN AQUA YAAA!!!” Teriak Kaylie yang dapat acungan jempol dari Doy.

Baru berjalan beberapa langkah, Doy tersadar satu hal. Kkainya berhenti berlangkah, ia berbalik mendekat pada Kaylie lagi.

Tepat di belakang gadis itu ia berdiri, membuka topi yang ia kenakan lalu memasangkannya pada Kaylie dari belakang.

Kaylie sedikit tersentak kaget, dengan cepat menoleh kebelakang mendapati Doy yang sudah kembali menjauh. Jelas saja Kaylie tak bisa lagi menahan semburat merah menjalar di pipinya. Padahal cuman hal sesimpel memberikan topi saja Kaylie rasanya sudah ingin terbang bersama kupu kupu di perutnya. “MAKASIH!!!” teriak Kaylie malu malu.

Dan hanya Doy balas dengan manggut manggut, tetap berjalan sampai hilang ditikungan.

Gila, dia bisa jalan sesantai itu setelah bikin Kaylie frustrasi.

***

Di atas sana terlihat sudah berdiri para pemain musik dari band ternama itu, dan beberapa panitia yang ikut membantu persiapan mereka.

Kaylie sekarang tengah berdiri agak menjauhi kerumunan karena seperti yang disebutkan sebelumnya, anak anak mahasiswa baru semakin membrutal ingin berdiri paling depan. Ditambah hanya beberapa lagu HIVI! yang ia ketahui, maklum gadis itu cuman mendengar lagu dari NCT Boygroup asal korea selatan itu.

“Nih” sebuah botol mineral terulur di depannya membuat ia menoleh kesamping. Oh, si buaya.

Kaylie berdehem sesaat, mencoba mengontrol dirinya yang masih salah tingkah mengingat kejadian tadi. “ekm, makasih” balasnya sok cuek, meraih botol yang Doy serahkan.

Setelah itu hening.

Keduanya sama sama diam, memilih memperhatikan panggung.

Didepan sana Nadhia si vokalis HIVI! sudah mulai menyenandungkan lagu mereka yang berjudul , siapkah kau 'tuk jatuh cinta. Bait demi bait mengudara dengan indah, suara yang lembut membuat pendegarnya malah semakin terbawa suasana.

Terlebih Kaylie, gadis itu bak terpana pada pemandangan di depannya. Matanya seperti tak mau lepas dari panggung, telinganya juga setia menikmati suara yang diterima. Bahkan tanpa sadar mulai mengumam tak jelas mengikuti lagunya.

Binar memuja dari mata Kaylie mungkin nampak terlalu indah sampai Doy malah lebih fokus menatapi gadis itu daripada ikut menikmati acara.

Kaylie cantik, sangat. Doy jelas mengakui itu, bahkan ketika lampu sorot hanya diarahkan ke panggung dan wajah Kaylie hanya disinari rembulan yang baru muncul, wajah cantik itu tetap dapat Doy lihat dengan jelas.

Memandangi gadis ini dalam diam, malah membuat Doy jadi teringat ketika pertama kali mereka bertemu. Dari pertama kali berinteraksi dengan gadis ini, tak pernah terpikir mereka akan berakhir sedekat ini.

Diawal mengenal Kaylie, Doy hanya menganggap Kaylie sebagai salah satu dari panitia yang akan sangat dibutuhkan. Karena pemikiran itu jugalah, yang membuat Doy akhirnya tak mengeluh jika Kaylie terus saja merecokinya dengan segala tingkahnya.

Kini Doy sadari memang tak seharusnya ia mengeluh, pilihannya untuk tak menjauhi gadis itu malahan jadi suatu yang ia nikmati kini.

Doy tersenyum simpul, merasa geli sendiri memuja Kaylie dengan sebegitunya.

Padahal tiap ada yang bertanya seperti apa Kaylie, jawabanya selalu Kaylie aneh. Ya, Doy cukup denial mengungkapkan perasaannya di depan orang lain, tapi sebenarnya jawabanya tak sepenuhnya salah.

Doy sangat menganggumi sosok Kaylie. Dia benar benar pekerja keras, rendah hati, dan selalu dapat diandalkan. Namun jujur saja, siapa yang tak merasa gadis ini aneh?

Kaylie itu suka bercerita. Semua hal yang pernah terjadi dalam hidupnya tak pernah ragu ia ceritakan pada orang lain, segala hal bisa jadi obrolan bagi dia. Ia tak akan pernah kehabisan topik. Bahkan pernah sekali Doy mendapati Kaylie yang seharusnya menjual risol danusan, malah asik mengobrol dengan segerombolan anak TK bak teman sebaya.

Selain berisik tingkahnyapun luar biasa selalu sukses bikin semua orang disekitarnya tertawa. Kaylie tak segan melakukan hal hal diluar nalar hanya untuk membuat orang di sekelilingnya merasa bahagia. Kayaknya kalau diurutkan prioritas utama gadis itu pasti kebahagiaan orang lain.

Terbukti juga hal itu dari seringnya gadis ini mengalah, dan jarangnya ia egois. Walau jika sedang keras kepala tak ada yang bisa membantahnya.

Kita bisa sama sama menyimpulkan gadis ini ceria. Namun nyatanya orang orang akan merasa lebih mengenal gadis ini sebagai gadis cegeng. Pada dasarnya ia hanya manusia biasa yang mudah sakit hatinya dan cepat keluar air matanya. Saking cepatnya ia menangis, dalam seminggu kalian bisa nyaris 5 kali menemukan Kaylie menangis.

Seperti sebuah kebiasaan, dia bisa tertawa terbahak bahak tapi sedetik kemudian air mata sudah membanjiri wajahnya.

Lagi, Kaylie aneh, begitu menurut Doy. Yang kemudin malah merasa dia lebih aneh lagi. Bisa bisanya malah jatuh cinta sama Kaylie, gadis yang ia cap aneh.

Sedangkan Doy sibuk memujanya dalam diam, Kaylie sekarang malah makin asik menikmati lagu. Tadinya ia hanya menggumam tak jelas, kini ia sudah berani ikut bernyanyi.

Meski tak mengetahui liriknya secara utuh, tapi Kaylie tetap mencoba mengikuti tiap bait yang dia ketahui. Apa lagi bait legendaris ini;

“SIAPKAH KAU 'TUK JATUH CINTA LAGI?” teriak Kaylie kencang bersama bepuluh puluh mahasiswaa lainnya.

“Kalau sama lo gue siap.”

“ME—”

Gila.

Deandoy udah gila.

Kalimat Kaylie tertelan kembali, kepalanya bahkan tak sanggup untuk mengingat lirik selanjutnya. Semua terasa berhenti tepat setelah Doy cowok yang disampingnya ini, menyahuti teriakannya.

Gadis itu terdiam.

Sama halnya Doypun malah jadi ikut diam. Dalam hati merutuki dirinya sendiri.

Kini hanya tersisah canggung menyelimuti mereka.

Doy tau ini terlalu mendadak, ia bahkan tak memiliki persiapan apa apa sebenarnya untuk ini. Kalimat itu keluar tanpa Doy sadari, saking sibuknya ia memuja Kaylie.

Namun ia juga tak mau berbohong, sebenarnya ini yang ia harap bisa ia ucapkan jauh hari sebelumnya. Tapi sayangnya kemarin dia belum punya nyali. Sampai hari inipun tak bernyali, cuman modal kalimat tak sadar yang keluar dari mulutnya.

“Deandoy Deandoy, tolong kebelakang ada masalah sama yang punya saound sistem. secepatnya.”

Itu suara Yuta dari Ht mereka berdua.

Dan entah keberapa kalinya suara Yuta hadir di anatara mereka, entah sebagai penyelamat atau malah menggangu keadaan.

Keduanya jadi saling melirik kini.

Kaylie ingin mengatakan kalau sebaiknya Doy pergi dahulu, masalah panitia kini harus jadi prioritas mereka. Tapi untuk menetralkan degupan jantungnya saja ia belum mampu, apa lagi menahan agar sauranya tak bergetar saat berbicara pada Doy.

Doy sedikit mengerti gadis ini pasti masih canggung berbicara padanya, mungkin pula ia masih kaget. “Gue kebelakang dulu” pamitnya akhirnya.

walau ada sedikit rasa takut Kaylie kecewa padanya karna ia lebih memilih organisasi.


thanks to @CAtansaya for the ideas