ruthlessrwar

Daniel Sanjaya.


Dua minggu sebelum pertemuan Wiliam dan keluarganya, ada seorang Cerita yang memohon pada Papanya agar dapat menghubungi Papa Wiliam langsung.

Papa Cerita, Charil, awalnya menolak karena tau betul Daniel Sanjaya bukan orang biasa yang bisa dimain mainkan waktunya. Pria menginjak kepala lima itu tak pandang bulu, siapapun yang tak serius menghubunginya, tak akan mau lagi ditanggapinya.

Namun, anak sematawangnya juga bukan gadis yang pantang menyerah, apa lagi soal Wiliam. gadis itu merengek dari pagi dampai sore. Charil yang tau niat baik anaknya sebenarnyapun mendukung, hanya saja ia tak yakin, gadis 17 tahun itu bisa berkomunikasi baik dengan Daniel.

Pada akhirnya kemauan sang anak ia turuti, ia hubungi nomor Daniel, lalu ia serahkan ponselnya pada Putrinya. Sang putri sebenarnya meminta Charil untuk kembali ke ruangan pribadinya, agar sambungan telponnya tak terdengar.

Charil tak mungkin percaya begitu saja anaknya berbicara hanya berdua, selain takut Daniel tersinggung, ia lebih takut lagi kalau anaknya dibentak. Jadi Pria itu akhirnya berdiri sedikit tak jauh dari tempat Cerita mengangkat telpon.

“Saya memiliki banyak sekali urusan. Kamu jangan bermain main.”

Kalimat sinis tersebut yang pertama kali Cerita dengar ketika ia menempelkan ponsel milik ayahnya pada telinganya. Gadis remaja itu sedikit meringis, tapi kemudian kembali mengumpulkan seluruh keberaniannya.

Ia membersihkan tenggorokannya sebentar sebelum menanggapi orang di sebrang sana. “Nggak ada yang main main, Om Daniel. Saya juga sibuk, bukan Om doang yang sibuk di dunia ini.”

Dalam hati Cerita merutuki bagaiman ia siswa paling tidak aktif di sekolah mengatakan hal tersebut pada seorang pebisnis. Tapi ia kembali ingat tujuannya, ia ulang dalam hati, demi Wiliam.

“Lalu apa maksud kamu dengan mengatakan mengetahui keberadaan anak perempuan saya. Jangan main main pada hal seperti ini.”

“Saya nggak main main, kalau Om memang ingin tau, Om bisa bertanya nanti sesuai dengan waktu yang saya tentukan.”

Terdengar helaan napas panjang dari telpon. “Saya tak tau dimana letak kepala Papamu, sampai mempercayai anak kecil seperti kamu. Tapi saya tegaskan, saya tak akan datang kalau tak ada jaminan saya mendapatkan apa yang saya butuhkan.”

Papanya yang tiba tiba dihina membuat gadis remaja itu tersinggung. Memang apa yang salah dari mempercayai anak sendiri? Cerita menaikan nada bicaranya, membalas, “Letak kepala Papa tetap pada posisinya, Papa mempercayai saya, karena dia mengenal anaknya. Orang yang tak becus mengurus anak gak pantes merendahi Papa saya.”

“Ulangi yang kamu bilang?

“Gak becus mengurus anak.” Cerita lalu tertawa hambar. “Ayolah, Om, masa nggak mau ngakuin hal itu? Anak pertama gak tau dimana, anak kedua— eh Om masih ingatkan kalau Om punya anak namanya Wiliam?”

Gemertak gigi terdengar, “Jaga ucapanmu.”

“Saya bertanya, Om. Ingat punya anak namanya Wiliam Darell Sanjaya?”

“Kamu jangan menghakimi saya seolah paling tau tentang keluarga saya.”

“Tapi saya jauh lebih tau Wiliam dibandingkan Om!” tegas gadis itu dengan cepat, “Apa yang Om tau tentang Wiliam? Nggak ada Om. Om tau kalau Wiliam nggak masuk sekolah di minggu pertama SMP? Om tau kalau Wiliam nggak pernah sarapan pagi? Om kenal teman Wiliam satu satunya pas SMP? Om pernah nyaksiin Wiliam hujan hujanan nunggu keluarganya pulang? Om tau kalau Wiliam belajar mati matian demi menunjukan ke kalian kalau dia pantas dibanggakan? Om ada waktu Wiliam masuk rumah sakit karena belajar sampai jam 3 pagi? Om pernah hadir di lomba lomba Wiliam?”

Hening.

Dada Cerita naik turun seiring dengan emosinya yang mengebu gebu, “Dan setelah semua hal yang dia lewatin sendirian, Om tau dia masih dengan bangga nyeritain gimana Om dulu selalu nganterin dia ke sekolah tiap pagi.”

“Sekarang Om beneran kenal Wiliam?”

Jeda begitu lama, sebelum Pria paru baya di sebrang telpon sana mau kembali bersuara. “Dia tetap anak saya.”

Perut Cerita terasa tergelitik oleh jawaban yang tak masuk akal bagi Cerita. Gadis itu tertawa sinis, “Anak saya.” ia ulangi kata paling tak masuk akal baginya.

“Om seorang orang tua? tapi tega meninggalkan seorang anak, menelantarkan seorang anak, membiarkan dia tumbuh sendiri, dan kehilangan seorang anak. Om merasa pantas jadi orang tua?”

Kali itu Daniel tak lagi bisa menahan, “Menjadi orang tua itu tidak mudah!” bentak Daniel kencang.

“Nggak punya orang tua juga gak mudah om!” Balas Cerita tak kalah kencang. “Kami anak nggak pernah minta sama Tuhan untuk dilahirkan. Kalian para orang tua yang meminta kami untuk dihadirkan. Lalu apa Om merasa alasan 'tak mudah menjadi orang tua' bisa jadi alasan untuk menelantarkan anak? Kalau memang belum sanggup menjaga, dari awal jangan meminta Om!”

“Om gak tau beratnya hidup tanpa seorang ayah, tanpa sosok figur yang kita harap bisa mengayomi kita. Om gak tau gimana irinya ngelihat anak lain dipeluk, dibanggakan ayah mereka. Om gak tau gimana sakitnya ditinggalkan orang yang kita sayang. Om gak tau gimana kesepiannya nggak punya siapa siapa di rumah. Om gak tau, karna Om yang ninggalin.” Cerita sedikit banyak tau bagaimana sedihnya kehilangan. Makanya tanpa banyak pikir kalimat itu keluar dari mulutnya.

“Saya nggak pernah tau gimana persisnya perasaan Wiliam, Om. Wiliam nggak pernah mau benar benar menceritakan sakitnya. Dia nyimpan semua sakit hatinya sendirian. Tapi dia juga gak pernah mengeluh, Om. Dia nggak pernah menyalahkan keluarga kalian. Dia selalu bilang kalau kalian cuman lagi nyari kebahagiaan kalian aja. Padahal Om tau? bahagianya Wiliam itu kalau kalian berkumpul. tapi dia korbanin bahagia dia, demi kalian. Dia sering bilang kalau dia kangen, Om. Tapi dia nggak mau egois dengan maksa kalian pulang.”

Cerita menghembuskan napasnya panjang, ia merasa bertemu klimaks pada obrolan mereka, “Saya pernah bertanya sama dia, bagaimana cara Om dan Tante bisa pulang tanpa menjadikan Wiliam egois. Jawabannya hanya perlu Kakak pulang. Saat itu saya kira itu mustahil, karena Om sendiri nggak bisa menemukan Kakak Wiliam. Tapi ternyata Wiliam tau dimana Kakaknya berada.”

Seperti disambar petir, di sebrang sana Daniel dibuat mematung. Hening panjang mengisi sambungan telpon tersebut.

“Wiliam hanya mau Om, bertanya langsung ke dia. Wiliam hanya menunggu Om, bertanya. Semudah itu Om mengembalikan seluruh keluarga, Om.”

Jagoan


Beberapa pegawai mulai menyajikan makan utama ke meja. Berbagai bentuk nampan yang ditutup tudung besar tersaji di hadapan keluarga Wiliam. Sampai semua telah tersaji dengan baik, baru lah seluruh pegawai restoran tersebut keluar. Menyisakan Wiliam beserta kedua orang tuanya.

Wiliam melirik ke depan. Papahnya nampak sama canggungnya. sedangkan sang Mama yang duduk di tengah, sibuk merapikan sendoknya. Dan kini ikut membersihkan sendok yang terletak di kanan kiri piring Wiliam. Wiliam tak banyak tanya ia hanya menatapi itu dalam diam.

“Mau Mama pimpin doanya, nak?” tanya wanita yang wajahnya sudah nampak kerutan itu.

Wiliam pernah sekali memanjatkan dalam doanya agar kelak ia bisa menganggungkan nama Tuhan bersama keluarganya. lalu kelak itu seolah tengah dikabulkan.

Dengan cepat Wiliam mengangguk. Kemudian ia mulai memejamkan mata, memposisikan diri selayaknya menghadap pada Yang Kuasa.

Pujian, syukur dan harapan mulai dipanjat sang ibu. Di tengah doanya, ia selipkan nama Wiliam. Terselip harapan agar anak lelakinya tumbuh tanpa harus kesakitan lagi, harapan agar apapun sakit yang pernah tertoreh di hati lapang sang putra bisa diobati, harapan agar apapun kesalahan sang Mama di masa lalu, dapat ditebus.

Lalu sebelum menutup doanya, Ibu dua orang anak itu juga mengakui segala dosa dosanya. Betapa cerobohnya ia menelantarkan anaknya. Betapa egoisnya dia tak memikirkan anaknya. Dan betapa tak merasa layaknya ia disebut seorang ibu.

Hati Wiliam serasa tercubit, pedih mendengar doa penuh pilu wanita kesayangannya. tepat setelah doanya selesai, Wiliam bangkit dari tempat duduknya. berjalan untuk merengkuh sang Mama yang sudah terisak sejak memanjatkan doa doanya.

“Mama minta maaf...” tanya wanita paruh baya itu di tengah tangisnya yang tak berhenti terjatuh.

Mama adalah perempuan pertama yang tak mau Wiliam sakiti. Meski 5 tahun terakhir lebih sering jauh, tapi Mama masih tetap menghadiri tiap bagian penting di hidup Wiliam. Mama tak pernah benar benar menghilang, namun tak juga benar benar ada di sisi Wiliam.

Mama selalu menghadiri penerimaan hasil ujian Wiliam, tapi keesokan harinya mama sudah tak lagi di rumah. Mama ada di olimpiade yang Wiliam lakukan tahun lalu, tapi hanya sempat memberi peluk, lalu menghilang lagi.

Wiliam sudah merasa cukup dengan itu. Wiliam yang tak pernah menuntut lebih. Wiliam tak pernah menahan Mama saat wanita itu kembali menggeret koper menuju tempat yang Wiliam tak ketahui. Wiliam hanya memandangi, lalu membiarkan pergi.

Bagi Wiliam ini kesalahannya.

Dalam peluk erat itu, Wiliam hanya diam tak menjawab tanya sang Mama. Ia hanya ingin memeluk seerat mungkin sampai Mamanya tak bisa pergi lagi.

Wiliam memjamkan matanya. Ia tak tau pelukan ini akan ia dapatkan berapa bulan lagi, atau bahkan tahun.

Kepala Wiliam tiba tiba saja terasa berat. telapak tangan besar terasa mengelusnya. ia mendongak, mendapati Papa yang kini menatapi dirinya dengan mata ikutan berlinang.

“Jagoan.”

Wiliam terenyuh.

Panggilan itu. Seribu kenangan yang tercipta oleh kata itu kini bertumpuk dalam kepala Wiliam. Yang membuat mata cowok itu kini mulai memanas.

“Dulu Papa lupa bilang, kalau Jagoan Papa juga boleh merasa lelah. Jagoan Papa nggak melulu harus kuat. Jagoan Papa bisa panggil Papa untuk tempat mengeluh. Harusnya dulu Papa bilang gitu ya, Jagoan? Biar kamu nggak terus terusan berusaha sendiri.”

Air mata Wiliam terjatuh begitu saja.

“Papa kira selama ini Papa tengah memperbaiki. Waktu Kakakmu memilih pergi, Papa sudah kehilangan sebgaian dunia Papa, Dek. Ada bagian dalam diri Papa yang hancur. Dulu, Papa kira menemukan Kakakmu mungkin jadi satu satunya cara agar Papa kembali merasa utuh. Tapi Papa ternyata salah, lagi.”

Bertaahun tahun, Wiliam hanya mampu melihat wajah datar Papanya. Emosi seakan sudah lenyap dari raut wajahnya. Tapi malam ini dengan penuh air mata serta air muka penyesalan Pria paru bayah itu bangkit dari kursinya, lalu ikut memeluk anak dan istrinya.

“Papa meninggalkan kamu, Papa minta maaf.”

Wiliam benci kata meninggalkan, berpuluhan kali telah ia rasakan ditinggalkan. Tak pernah sekalipun ia merasa bahagia, duka jadi yang selalu ia rasa. Isakan cowok yang kini dipeluk kedua orang tuanya itu jadi makin kencang.

Maaf seperti sebuah obat manjur untuk hati yang pernah terluka. Maaf yang pelik didapat, tak sering terucap, jadi terasa beribu kali lebih bermakna. Dan maaf dari Papa adalah kata paling jarang Wiliam dengar.

Kini tak ada lagi yang Wiliam tunggu. Seakan kata Maaf sang ayah dan ibu berujung pada satu tujuan.

Pulang.

“Kalau gitu pulang, Pah, Mah.” Pinta Wiliam dengan suaranya yang bergetar hebat.

“Mama akan selalu bersama kamu, nak.”

“Papa pulang.”

Untuk apapun yang Cerita lakukan, sampai Wiliam menerima ini semua, Wiliam sangat berterima kasih.

Hadiah


Wiliam pernah tau bagaimana rasanya memiliki keluarga yang sempurna.

Wiliam selalu ingat bagaimana dulu dia begitu membanggakan keluarganya pada semua orang. Wiliam ingat pernah menyebut, Papa adalah seorang ayah yang pekerja keras dan mampu mengayomi keluarga. Mama adalah ibu tanguh yang selalu mendampingi tiap anggota keluarga. Wiliona, kakak yang ceria dan amat menyanyangi Wiliam. Dan terakhir Wiliam sendiri, si bungsu penurut.

Wiliam masih ingat dengan jelas masa ketika keempatnya hadir untuk saling melengkapi. Menciptakan hangat yang hanya dapat mereka rasakan. Meski tiap pagi terdengar teriakan mama membangunkan seisi rumah. Meski tiap pagi terdengar keluhan Papa yang tengah kesusahan mencari barang barangnya. Meski tiap pagi terdengar langkah kaki tergesah gesah karena kakak telat bangun. Dan meski Wiliam hanya duduk menyaksikan pagi yang penuh dengan hingar bingar. Semuanya tetap terasa hangat. Keluarga kecil mereka tetap terasa sempurna bagi Wiliam.

Walau hanya sementara.

Bahagia sementara yang terasa begitu lama. Hanya sampai umur 13 tahun Wiliam diizinkan merasakannya. Lalu lima tahun berikutnya atau mungkin untuk enam tahun sampai sepuluh tahun berikutnya, Wiliam hanya bisa meratapinya.

Tapi Wiliam punya hati lapang. Ia tetap mensyukuri apa yang pernah ia miliki, tak pula membenci dan lebih sering mengampuni meski yang menyakitinya tak pernah mengobati.

Satu satunya yang Wiliam tak sanggup lakukan hanya melupakan.

Kenangan sekecil apapun bagi Wiliam berharga. Ia akan mengenang sekecil apapun kenanganan berharga itu. seperti sarapan paginya yang dahulu. Bahkan sesakit apapun juga tak lantas ia lupakan. Wiliam tetap mengingat semua rapi, termasuk luka di pagi bulan agustus itu.

Pagi pertama Wiliam memasuki sekolah menegah pertamanya, dan pagi pertama Wilona menjadi seorang mahasiswa. Sarapan pagi harusnya selalu indah bagi keluarganya. tapi hari itu, pagi yang diharapkan penuh kebahagian, ternyata malah penuh teriakan.

“Kakak, kamu Papa jodohkan.”

Begitu cara Papa menghancurkan masa depan putri sulungnya. Juga keluarganya. Papa perlakukan putrinya seperti alat bisnis. Ia jadikan putrinya yang ia sebut paling ia sayangi jadi penopang usahanya.

Kalau saja Papa mau paham, teriakan histeris Wilona dan pukulan keras gadis itu ke meja adalah sebuah bentuk penolakan. Mungkin semuanya selesai.

Namun, Papa seolah tutup mata. Wilona perlu angkat kaki dari rumah dan menghilang seolah tertelan dunia, baru Papa mulai tersadar kalau ia salah.

Lalu ketika semua sudah telah terlambat. Ketika hasilnya hanya sia sia. Papa baru menyesal dan mencari. Pencarian yang jadi kehilangan bagi Wiliam. mereka mencari, Wiliam ditinggal sendiri menanti.

Wiliam pernah menunggu. Wiliam pernah berharap keluarga hangatnya kembali, William pernah berharap semua ini hanya sebuah mimpi buruk yang panjang. Nanti ia akan bangun, dalam pelukan hangat keluarganya.

Sampai Wiliam kecil yang begitu naif ditampar kenyataan, ia tak pernah tertidur, semua yang sudah terjadi bukan mimpi semata.

Semua sudah tersurat dalam garis takdir keluarganya yang tragis. Menerima kenyataan sepahit itu tak pernah mudah bagi Wiliam. Ada masa ketika Wiliam menumpahkan air matanya nyaris tiap hari. Tapi tak pernah ada yang menghapus air matanya. Semua air matanya terjatuh sia sia.

Setahun, dua tahun, tiga tahun, sampai lima tahun lamanya, Wiliam sudah tumbuh tanpa kehadiran keluarganya. kini tak ada lagi air mata, dikeringkan oleh rasa muak. Wiliam sempat berpikir bahwa ini akhir dari penantiannya. Ia tak akan lagi menunggu, jika memang semua orang pergi, ia juga akan ikut pergi.

Setidaknya itu hanya terbesit, lalu menghilang begitu saja malam ini. Wiliam mematung di tempat, langkahnya berhenti tepat di depan pintu masuk ruangan tertutup yang Cerita pesan. Air wajahnya yang biasanya kaku itu, nampak begitu terkejut, dengan mata melebar dan rahang yang terjatuh.

Cowok berjas rapi itu meneguk ludahnya kasar, lalu menggeleng, mencoba menormalkan dirinya sendiri dari terkejutannya yang tiba tiba. Kaki jenjangnya kini mulai memahat langkah, memasuki ruangan yang tadi sempat tertunda.

“Papah… Mamah…”

Let them know.


Jam pelajaran pertama baru saja dimulai, tapi Cerita, Geona, Saqila dan Riani malah berada di kantin. Kantin pagi itu cukup sepi, hanya ada dua meja yang terisi; meja yang mereka tempati, serta meja di sebelahnya yang diisi Jayden—kekasih Saqila, dan Dejo—teman Jayden. Keenamnya kini tengah asik mengobrol sembari menyatap makan yang sudah mereka pesan.

“Yang, sabtu depan jadi temenin aku nyalon ya! Aku udah bikin appointment soalnya.” Saqila membuka obrolan pada Jayden yang duduk di sebrangnya.

Bukannya menjawab, cowok itu malah mematung, membuat seisi meja melirik cowok itu heran.

Saqila seperti tau apa yang terjadi, buru buru gadis itu memasang wajah galaknya. “Kamu udah janji loh!”

Wajah Jayden makin cemas kentara, “Yang...” panggilnya memelas. “... Aku ada latihan basket...”

“Kamu makanya kalau aku tanyain jawab yang bener! Aku udah bikin appointment gini baru bilang ada latihan basket? Terus aku sama siapa ke Cibuburnya, hah? Makanya lain kali jangan asal ngomong deh, bikin ribet aja.” cerocos Saqila kesal, wajahnya memerah, bahkan kini ia membuang muka dari kekasihnya itu.

Jayden tergagap sendiri, ia meraih sebalah tangan Saqila bermaksud menenangkan, namun baru disentuh Saqila sudah menarik kasar tangannya.

“Sayang... maaf...Masalahnya ini latihan buat IBF*, udah tinggal 2 bulan lagi aku nggak mungkin ninggalin latihannya. Aku kaptennya, sayang.” pinta Jayden dengan memelas.

Riani yang duduk di sebelah Saqila melirik santai, “Ribet bener cewek lu, Jay.”

“Gak usah ikut campur!” ketus Saqila.

Riani diomelin tiba tiba seperti itu bukannya tersinggung, malah makin ingin menjahili temannya, “Udah sih putusin aja Jay, kalau menghambat basket lu. Basket tetep prioritas.”

Dikompori begitu, Saqila makin emosi, ia pukul dengan keras lengan Riani. “JAGA YA MULUT BERDOSA LU ITU!”

“Anjir bringas banget lagi, Jay, gue dukung deh kalau lo mau ganti cewek yang lebih lembut.”

Emosi Saqila makin memuncah. Dengan sebal ia balas ucapan Riani tak kalah pedas, membawa bawa soal mantan Riani yang memutusinya karena Riani terlalu mengurusi segala hal.

Setelahnya pertengkar tak bisa dihindari, Saqila dan Riani lanjut adu mulut, sedangkan Jayden masih terus berusaha merelai sambil sesekali membela kekasihnya. Alasan saja, biar dia dimaafkan.

Geona, Cerita, dan Dejo dari tadi hanya tertawa memperhatikan ketiganya itu. Sesekali Cerita ikut menimpali untuk memanaskan keadaan.

Saking serunya perdebatan ketiga orang itu, mereka sampai tak sadar kalau dari arah pintu kantin datang Lukas, Hendri dan Wiliam. Yang memang sudah berencana menghampiri mereka.

Dejo yang duduk menghadap ke arah pintu kantin, jadi orang pertama yang menyadari kedatangan teman temannya. Cowok itu mengangkat tangan, “Oi!” panggilnya memberi isyarat agar teman temannya mendekat.

Fokus seisi meja itu kini teralihkan, mereka kini mengikuti arah pandang Dejo. Geona dan Cerita yang duduk membelakangi pintu masuk Kantin, jadi harus berbalik.

Mata Cerita membelalak begitu tatapannya bertabrakan dengan Wiliam, cowok itu kini dengan terang terangan menatap lurus ke arahnya. Cerita buru buru berbalik, sudah berniat pergi dari kantin. Karena akan selalu begini, ketika di sekolah, Cerita akan sebisa mungkin menghindar dari Wiliam. Ia tak akan pernah mau berada di sekitar Wiliam.

Cerita bangkit berdiri, membuat kini perhatian tertuju padanya. “Eh gue mau cabut—”

Ucapan Cerita terpotong begitu sepasang tangan menyentuh bahu gadis itu, lalu memaksanya untuk kembali duduk. “Duduk, habisin sarapan lo. Gak usah ngehindarin gue mulu.”

Tanpa perlu melihat ke belakang, Cerita sudah hapal betul itu suara Wiliam. Badan gadis itu mematung menyaksikan wajah kaget seluruh teman temannya yang berada di sana.

Riani, Saqila kini mengangga dengan mata melotot. Jayden, Dejo, Lukas juga Hendri kini menatapi Wiliam dengan aneh. Hanya Geona satu satunya yang nampak tak terkejut.

Sedangkan Wiliam dengan santai memgambil tempat duduk di seberang Cerita.

“APA APAAN ITU TADI?” pekikan Riani menyadarkan seisi meja.

Cerita mengerjap, gadis itu sadar kalau ia akan dapat pertanyaan lebih banyak lagi. Jadi sebelum itu terjadi, gadis itu tanpa babibu, langsung melesat mengacir pergi. Ia berlari keluar dari kantin.

“CERITA!!!” Teriak Saqila menggelegar.


  • = Indonesia Basket Festival.

acknowledge her weakness


Alasan Wiliam kemarin menolak tawaran Cerita, bukan hanya karena mempertimbangkan izin dari Tante Puisi, tapi juga karena hal seperti sekarang. Cerita yang tak mampu menjaga dirinya sendiri.

Meski dari awal sudah menebak kalau hal ini bisa terjadi, Wiliam tetap saja membiarkan gadis itu pergi sendiri. Alasannya karena ia tak ingin gadis itu kembali tersinggung. Kapok dengan diamnya Cerita berhari hari karena Wiliam menuduh gadis itu manja. Juga ingin membuktikan pada dirinya sendiri, kalau memang tak ada yang perlu dicemaskan dari gadis berumur nyaris 18 tahun keluar rumah sendirian.

Sialnya, Cerita malah membuktikan sebaliknya, ia hilang di tengah kerumunan dan tak bisa dihubungin. Yang pada akhirnya kembali membuat Wiliam dilanda cemas.

Lokasi vanue yang memang tak terlalu jauh dari sekolahnya, sangat menguntungkan Wiliam. hanya butuh beberapa menit, kini ia sudah tiba. Buru buru ia turun dari ojek online yang menghantarkannya, setelah melewati tikceting dan beberapa pos check di gerbang vanue, kini ia sudah berdiri di belakang ratusan orang yang menonton acara pensi ini.

Segera ia menerobos kerumunan, tak peduli berapa orang yang ia dorong, dan yang mencacinya, ia hanya ingin cepat cepat menemukan Cerita di tengah orang orang ini.

**

Cerita menegak sampai habis air mineral yang baru saja dibelikan oleh Wiliam. Kini keduanya berada di depan ruang medis, setelah Wiliam yang berhasil membawanya keluar dari kerumunan.

Di sayap kanan bagian tengah, Wiliam menemukan Cerita yang terdiam dengan mata berkaca kaca. Mata gadis itu sibuk menyapu sekitarnya, mencari keberadaan ketiga sahabat baiknya, yang sayangnya tak dia temukan. Sampai tiba tiba dari belakang, Wiliam meraih tangannya. Ia sempat tersentak kaget, nyaris berteriak, sebelum ia berbalik dan menemukan Wiliam. Dalam diam akhirnya ia mengikuti Wiliam, yang ternyata menuntunnya ke depan ruang medis.

Wiliam dari tadi masih memperhatikan Cerita dalam diam. Sejujurnya, isi kepala Wiliam kini sudah dipenuhi berbagai keresahannya. Namun, takut melakukan kesalahan yang sama, ia akhirnya memilih diam menahan semua khawatirnya.

“Wil…” Suara Cerita terdengar bergetar, membuat Wiliam langsung menoleh.

“Hp gue…” gadis itu terdiam beberapa saat, dengan jari yang bergerak gerak cemas. “Hp gue… hilang.”

Pundak Wiliam jatuh seketika.

Buruk.

Hal terburuk dari pergi tanpa izin, adalah ketahuan. Dan jika ponsel milik Cerita hilang, orang tuanya jelas akan menanyakan bagaimana ponsel itu bisa hilang, berakhir mereka akan mengetahui Cerita pergi ke pensi ini tanpa izin. Wiliam jelas bertanggung jawab atas perginya Cerita tanpa izin, karena Wiliam yang menyediakan tiket.

Cerita menunduk, kali ini, ia sadar karena keras kepalanya kini Wiliam akan kena getah juga.

Dari awal Wiliam sudah melarangnya ke sini, tapi karena Cerita yang keras kepala, ia tetap memaksa. Bahkan memberikan sebuah pilihan yang ia tau tak akan Wiliam tolak. Ia juga sudah berjanji akan menjaga dirinya, tapi nyatanya janji itu tak dapat ia tepati.

“Cerita” Wiliam terdengar putus asa. Cerita jadi semakin merasa bersalah. “Gapapa, nanti gue yang bilang ke nyokap lo. Ini salah gue, harusnya nggak usah ngasih tiket itu.”

“NGGAK!” elak Cerita cepat. “Lo dari awal udah nggak bolehin.” Gadis itu meneguk ludahnya kasar, “Ini salah… gue.” akunya dengan canggung. Cerita tak pernah mudah mengakui kesalahannya sendiri, adalah sebuah kalimat yang kembali harus di tekankan. Karena ia memang terbiasa dimaklumi dalam keluarganya, orang tuanya tak pernah benar benar menyalahkan gadis itu, ia juga tak pernah mau terima disalahkan, menjadikannya begitu egois dalam mengakui kesalahan.

Makanya, kata itu terasa asing bagi Cerita.

“Lo… bener… Gue masih terlalu manja.”

Wiliam mendongak, ingin segera meluruskan kalau ia tak pernah bermaksud mengatakan itu pada Cerita, namun, Cerita lebih cepat memotong.

“Mama yang terlalu khawatiran sama gue, emang bukan salah gue. tapi kalau aja gue lebih mandiri, mungkin kekhawatiran mama bakal… berkurang. Gue… emang belum sanggup… bikin mama berhenti khawatir.”

Wiliam diam, menunggu Cerita melanjutkan.

“Waktu tangan gue lepas dari Qila, gue nyaris nangis ketakutan.”

“Gue teriak, tapi kalah kenceng sama suara orang di sekitar gue. Gue… bener bener ketakutan, Wil… Gue linglung, ngeblank, gemeter. Gue nggak tau harus ngapain, gue diem bermenti menit kayak orang bodoh. Bahkan nggak nggak berani maju ke depan, pun mundur kebelakang. Gue terus diem di posisi gue, sampai sikutan dan geseran orang ngubah posisi gue.”

“Gue baru kepikiran buat nelpon temen temen gue, setelah berpuluh puluh menit kami kepisah. Waktu gue nyari HP gue, di situ gue sadar, HP gue hilang. Gue bener bener ngerasa bodoh banget.”

Cerita menunduk makin dalam, “Di moment itu, gue ngerti kalau gue emang belum sanggup buat jaga diri gue sendiri. Kalau gue masih belum bisa sendiri.”

Hening melanda.

Wiliam diam mencerna semua pengakuan tiba tiba dari Cerita.

Bertahun tahun mengenal Cerita, rasanya baru kali ini Cerita berani mengakui kelemahannya. Cerita yang Wiliam tau, akan selalu menampilkan kesempurnaannya, tak pernah mau terlihat lemah, apa lagi sampai ditatap prihatin. Gadis itu selalu angkuh, seolah tak membiarkan ada sedikitpun celah untuk orang lain menginjak injak harga dirinya.

Tapi sekarang, Cerita setuju dengan ucapan Wiliam kemarin. Ia bahkan mampu menjadikan sebuah pengalaman menjadi sebuah pelajaran.

Cemas Wiliam sedari tadi seolah menguap, tak ada lagi niatnya untuk menegur kelalian gadis itu, karena Cerita sendiri sudah mampu menyadarinya.

Wiliam tersenyum hangat, dengan tangan yang kini mengelus pelan rambut Cerita. “Nggak, gue nggak bener, cara gue nyampein tetep salah. Tapi barusan keren, gue tau ngakuin kelemahan sendiri pasti susah.”

Cerita sempat tersentak ketika merasakan sentuhan lembut pada puncak kepalanya, bersamaan dengan itu, degupan jantung yang entah kenapa berdebar tak biasa.

Ia jadi membisu bingung ingin merespon apa.

“Tapi, Cer,”

Cerita menoleh.

“Tau nggak apa yang lebih keren dari mengaku?”

Gadis itu menggeleng polos.

“Belajar dan berubah. Sekarang lo mau ngubah kelemahan lo itu nggak?”

hoodie


Sore itu cukup melelahkan bagi Cerita, setelah latihan cheerleaders gadis itu harus buru buru pulang, karena Rebecca, mentornya, ternyata sudah berada di rumah Wiliam, tempat mereka bimbingan belajar hari ini. Tanpa sempat singgah ke rumah untuk sekedar menganti pakaiannya, Cerita memutuskan untuk langsung ke rumah Wiliam, selain karena takut tertinggal pelajaran ia juga tak mau membuat Rebecca harus menunggu. Kakak mentor kesayangan Cerita itu persis sama seperti Wiliam, paling tak suka waktunya terulur.

Padahal baru kemarin Cerita menyumpah serapahi rumah ini berserta pemiliknya, ia juga berjanji tak akan pernah menginjakan kaki di rumah ini lagi, namun kekesalan Cerita seperti meluap dalam sekejap. Kini ia malah berlari cepat sampai kakinya melangkah masuk ke dalam ruang tamu.

“Eh sorry telat, kak.” Ucap gadis itu sembari mendudukan dirinya dekat Rebecca.

Ketiganya, Rebecca, Wiliam dan Cerita, kini duduk lesehan dengan karpet lembut menjadi alas, serta meja bundar yang berada di tengah tengah.

“Minum dulu nih.” Tawar Rebecca sembari mendorong segelas jus jeruk.

Cerita yang memang haus langsung menegak habis satu gelas, tak mempedulikan Rebecca yang menatapi gadis itu heran.

“Dari mana aja lo bisa telat?”

“Latihan cheers.”

“Buset lama amat?”

“Sekalian pemilihan pengurus baru, sama…” ada jeda lama, Cerita tengah membenarkan posisi duduknya. Berlatih cheerleaders menggunakan celana pendek dengan bahan ketat, membuat paha Cerita jadi terekspos ketika duduk menyilang. “…makan makan, rayain pergantian tadi.”

Wiliam yang dari tadi menunduk membaca buku di hadapannya sedikit mendongak ketika medengar suara Cerita kesusuhan. Meski tertutup oleh meja, Wiliam jelas bisa tau apa yang gadis itu tengah tutupi.

“Wil” panggil Rebecca, “Ambilin selimut kek, atau apaan, buat Cerita.” Dengan sigap Wiliam berdiri, lalu melangkah pergi menuruti perintah kakak mentornya.

Tak butuh waktu lama, Wiliam sudah kembali dengan sebuah hoodie oversized di tangannya. Wiliam menyodorkan hoodie itu dalam diam, dan Cerita terima juga dalam diam. Meski dalam hati agak terkejut dengan ukuran hoodie yang kini ia genggam, rasanya seluruh tubuhnya bisaa tenggelam jika memakai ini.

Setelahnya Wiliam kembali duduk, menyisakan hening di antara mereka.

Rebecca dengan cepat menyadari perubahan suasana di sekitarnya,

“Kenapa lo berdua? Diem dieman aja, nggak ribut.”

“EH KAK! Kita belajar sekarang yuk! Kemarin gue udah ngerjain soal soal Sosiologi.”

Rebecca tertawa dalam hati, bisa bisanya Cerita mengerjakan soal Sosiologi padahal kemarin ia mengirim file soal Sejarah. Ia langsung paham, Cerita tengah mengalihkan topik.

**

“Hati-hati, Kak Becca!” teriak Cerita kedua kalinya ketika motor kekasih Rebecca sudah melaju.

Bimbingan belajar mereka telah selesai, seperti biasa kekasih Rebecca juga sudah menjemput gadis itu di depan rumah anak didiknya. Dan barusan sepasang kekasih itu sudah meninggalkan perumahan Cerita dan Wiliam.

Menyisakan Cerita dan Wiliam yang masih berdiri di depan pagar. Semenjak Rebecca menaiki motor kekasihnya, kecanggungan sudah terasa antar Cerita dan Wiliam. Tak mau makin kikuk, tanpa sepatah kata Cerita langsung melangkahkan kakinya pulang.

“Cerita.” Suara Wiliam terdengar dekat, padahal Cerita sudah melangkah beberapa meter dari tempat cowok itu tadi berdiri, gadis itu berbalik mendapati Wiliam yang ikut melangkah di belakangnya.

Wajah Cerita merengut tak suka, “Ngapain sih lo!”

“Yang kemarin—”

“Gua nggak mau ngomong sama lo, apa lagi soal kemaren. Balik lo.”

“Ya udah nggak ngomongin yang kemaren.”

“Balik!”

Wiliam menghembuskan napasnya, berbicara dengan Cerita yang sedang sensian memang bukan hal baik untuk kesabarannya. “Gue balik, tapi pake dulu ini.” Wiliam menjelaskan selembut mungkin sambil mengulurkan hoodie oversized yang ia berikan tadi pada Cerita.

“Nggak mau!”

“Cerita, ini udah malem.”

“Siapa juga bilang ini pagi.”

Emosi Wiliam tak lagi bisa ia tahan, dengan cepat tangannya meraih kedua tangan Cerita, membuat gadis itu berbalik dengan terkejut.

“HEH! LO MAU NGAPAIN! GUA TERIAK YA KALAU LO MACEM MACEM!”

Teriakan Cerita tak Wiliam indahkan, ia memasangkan hoodie miliknya, melingkar pada pinggul Cerita, lalu mengikatkannya,

“Kekencengan nggak?” tanyanya tak peduli dengan wajah memerah Cerita.

Cerita tak membalas, ia kembali memberontak, sampai lepas dari genggaman Wiliam.

“LO TUH YA—”

“Udah sana balik, gue juga mau balik, lo hati hati.” Wiliam dengan cepat memotong omelan Cerita, sempat sempatnya ia menepuk puncak kepala Cerita sebelum ia berbalik masuk ke dalam rumahnya.

Meninggalkan Cerita yang terdiam, she turned cold eyes on, yet it warms her heart at the same time.

Sanggup


15 menit berlalu, pesan Wiliam belum juga Cerita balas. Perasaan cemas makin menguasai Wiliam, telpon Wiliam juga tak kunjung Cerita angkat, akhirnya Wiliam keluar dari rumahnya, berniat mencari keberadaan Cerita.

Baru melangkah keluar dari pintu utama, langkah Wiliam terhenti ketika sebuah taksi berwarna biru memasuki pekarangan rumahnya, dan berhenti tepat di teras dekat pintu utama. Kebingungan Wiliam akan siapa yang datang terjawab begitu Cerita keluar lalu berlari ke arahnya. Setelah berada tepat di samping Wiliam, Cerita menarik narik bajunya, meminta Wiliam untuk mendekatkan kupingnya. Wiliam menurut, merendahkan tubuhnya hingga kupingnya berada sejajar dengan mulut Cerita.

“Bayarin…” bisik Cerita.

Wiliam berdecak, meski kakinya tetap melangkah menuju mobil dan membayarkan taksi yang digunakan Cerita, dalam hati Wiliam masih mengerutu. Bisa bisanya gadis ini membuatnya begitu khawatir, tak membalas pertanyaan Wiliam, dan tiba tiba hadir dihadapan Wiliam meminta dibayar uang taksinya.

Setelah taksi yang Cerita gunakan telah meninggalkan pekarangan rumah Wiliam, Wiliam langsung berbalik pada Cerita, “Kalau gue belum bales jangan langsung pulang. Tunggu bentar bisa nggak? Gue bakal tetep dateng. Kalau ditanya dimana, jawab. Jangan bikin orang khawatir.” Dari nada suaranya terdengar Wiliam yang begitu marah.

Cerita mengerut, merasa tak terima dengan omelan Wiliam. “Hello? Ini udah sore, lu mau gue nunggu berapa lama lagi? Lagian gue udah bilang kali kalau udah deket, lo aja yang batu.”

“Lo tinggal ngasih tau dimana aja susah.”

“Dih, emang kalau gue kasih tau dimana lo bakal langsung dateng?”

“Bakal.” Jawab Wiliam begitu cepat.

Cerita menaikan alisnya, lalu tertawa hambar, “Kalau gitu kenapa pas gue chat minta bareng lo nggak ada? See? Nyatanya lo nggak bakal langsung datengkan?”

“Lo ngerti situasi nggak?” Wiliam menatap Cerita jengkel, “tadi gue masih di jalan. Sedangkan waktu gue tanya lokasi lo, itu gue udah di rumah. Kalau lo kasih tau lokasi lo dimana pas gue di rumah, gue pasti bisa langsung nyamper.”

“Lo kali yang nggak ngerti situasi.” Balas Cerita enteng, “Gue udah bilang mau nyampe, ngapain lagi gue harus ngasih tau lokasi gue ke lo?”

“Udah mau nyampe apanya? 15 menit gue nunggu, lo tetep nggak ada kabar.”

“Lo siapa sih? Ngapain juga gua harus ngabarin lo.”

Diamnya Wiliam membuat Cerita melanjutkan, “Lo bukan siapa siapakan? Ya udah nggak usah lebay.”

Wiliam menarik napasnya panjang, emosinya benar benar terpancing kini. “Gue disuruh nyokap lu, buat mulangin anaknya yang banyak tingkah.” Balasnya dingin.

“Oh sekarang mau bawa bawa mama? Ya udah nanti gue bilang mama biar nggak usah ngehubungin lo lagi.”

“Lo kira nyokap lo bakal nyanggupin permintaan anaknya yang paling manja ini? nggak usah ngehubungin gue lagi? Serius?” kini Wiliam yang tertawa hambar, “Sanggup? Sanggup bikin mama lo nggak khawatiran terus terusan? Sanggup keluar dari rumah tanpa bikin mama lo kepikiran? Sanggup nggak?”

Mata Cerita memerah, telapak tangannya sudah mengepal, “Anj*ng,” umpat gadis itu geram lalu melangkah pergi begitu saja.

Paralayang

Gabriella Clazetta

Cerai begitu isi pesannya.

Lucu saat kata itu bukan lagi seperti sebuah perpisahan, malah terasa seperti titik terang. Kami udah lama hancur, akhir pahit sudah kami duga karena cerai seperti sudah menunggu kami di ujung. Ketika terus terusan tersakiti, hal seperti ini, ingin cepat selesai, akan jadi biasa. Apapun jalannya, entah kembali lagi atau malah berpisah seperti kami, yang penting semuanya diakhiri. Sakit hati jadi urusan belakang, yang penting jiwa bisa tenang.

Begitu yang gue pikir, sebelum kemudian sakit hati benar benar singgah. Lebih dahulu dari jiwa yang tenang.

Gue lupa cara bernapas untuk beberapa detik, sampai dada gue mulai sesak dan seperti ada yang menusuk ulu hati gue. Dihancurkan oleh ‘mereka’ harusnya udah biasa, tapi kali ini ternyata memberi perasaan berbeda. Ada hancur yang lebih terasa ditorehkan oleh kata cerai.

Sedikitpun air mata gue nggak jatuh, hal yang malah gue sesali. Karena lebih baik gue menangis, dari pada malah gemetar ketakutan dengan tatapan kosong seperti ini. Semua orang bilang gue nggak mau terlihat lemah, padahal nyatanya gue mau, tapi gue nggak mampu. Dari kecil gue udah didewasakan dengan kata harus kuat, sampai tubuh gue nolak, otak gue menentang untuk terlihat lemah, berakhir gue kembali sok kuat padahal jiwa berasa ditikam.

Gue dari tadi masih nyoba hubungin Saga, meski gue tau dia nggak bakal jawab. Lo tau kenapa? Karena cuman sama Saga, gue bisa jadi Zetta yang nggak dituntut untuk

**

Sean Johnatan

Sejak bokap mukul gue untuk pertama kalinya, hubungan kita nggak baik baik aja. Di tahun pertama gue kuliah dia bahkan menolak untuk membayar uang kuliah gue, kehadirannya di rumah membuat kita tiap hari adu mulut dan nggak sekali kali dia melayangkan tamparan ke gue.

Tahun pertama gue kuliah mungkin jadi tahun terburuk buat hidup gue. Dimana gue masih harus menyesuaikan diri dengan dunia kuliah ditambah kehadiran bokap gue yang memberatkan. Saking letihnya gue pernah berpikir “buat apa jantung gue terus berdetak kalau hanya untuk menyiksa seluruh tubuh gue?” Letih, lelah dan ingin berhenti selalu melintas di pikiran gue saat itu.

Sampai suatu hari di akhir semester pertama kuliah, Jeffryan ngajak gue nyoba bungge jumping, olahraga ekstrem yang melibatkan seseorang untuk jatuh dari ketinggian tertentu dengan sebuah tali lentur menahan kaki. Saat itu gue cuman berpikir gimanapun caranya gue harus kabur dari bokap yang mungkin udah nungguin gue di rumah. Jadi tanpa tau seperti apa bungee jumping itu, gue langsung setuju.

Tepat saat tubuh gue terhuyung dan terlempar kebawah, tanpa butuh sebuah alasan, jantung gue berdetak dengan kencang. Gue nggak merasakan tubuh gue yang tersiksa. Gue merasa waras untuk sesaat. Sejak saat itu gue suka olahraga ekstrem, ini jadi salah satu alasan gue untuk membiarkan jantung berdetak.

Gue menarik rem tangan, memarkirkan mobil gue beberapa meter dari tempat gue akan paralayang, olahraga ekstrem lainnya yang saat ini mau gue coba.

“Udah sampe?”

Gue menoleh ke samping, sumber suara itu, mendapati Zetta yang membuka sabuk pengamannya dengan ragu.

Kalau lo bingung kenapa ada dia di sini, sama gue juga. Gue juga nggak ngerti kenapa cewek ini tadi masuk ke Starbucks dengan wajah yang mengkerut, lalu tanpa sapaab dia duduk di hadapan gue dan dengan santai setuju untuk ngembaliin jaket gue di Bogor.

Gue nggak berniat untuk bertanya kenapa dia tiba tiba berubah pikiran dan mau aja ngikutin ide bego gue, karena wajahnya bahkan jauh lebih seram dari dia yang biasanya. Jadi tanpa banyak tanya, gue langsung membawa dia ke bogor.

Selama sejam perjalanan yang hanya dipenuhi suara dari radio, akhirnya kini kami sampai. pertanyaan barusan, jadi kalimat pertama yang dia lontarkan setelah kami masuk ke mobil.

“Udah, ayo turun.”

Karena posisi paralayang yang ada sedikit di atas tempat parkir, butuh beberapa menit bagi kami untuk berjalan melalui tangga. Zetta berjalan di samping gue, masih diam, ngebuat gue gemas sendiri.

“Lo udah pernah paralayang?”

Zetta hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan gue. Dari tadi begini, dia cuman balas gue dengan anggukan atau gelengan.

“Ini serem sih, mayan, berani nggak lo?”

Seperti sebelumnya, dia nggak berbicara sama sekali, hanya mengangguk.

Gue menghela napas, kayaknya mau seberapapun usaha gue untuk membuat dia buka mulut, nggak akan berhasil. Jadi daripada kembali hening, gue akhirnya bercerita, mungkin dia jadi tertarik untuk ngobrol sama gue?

“Gue suka olahraga ekstrem.” Gue menoleh, melihat dia yang menatap gue sekilas lalu kembali buang muka.

“Tiap gue mau nyerah hidup, gue selalu lari ke olahraga ekstrem. Lo tau? Habis nyoba olahraga ginian, gue berasa lebih hidup. Jantung gue detak lebih cepet, gue jadi pengen hirup napas sebanyak mungkin, semua sakit di badan gue bakal kalah sama sakit dari olahraga ginian. Pokoknya gue berasa lebih waras.”

Langkah Zetta tiba tiba berhenti, dia jadi tertinggal satu tangga di bawah gue. gue menoleh dengan tatapan heran, melihat dia yang malah bengong menatap ke bawah.

“Zet?” panggil gue dengan alis bertaut.

“Ulang sekali lagi.” Gue nggak paham maksud dia, jadi gue diam, mencoba mencerna.

“Yang terakhir.” Desaknya lagi, membuat gue teringat kalimat terakhir gue.

“Gue lebih waras?”

Zetta kini menatap gue dengan sangsi, “Jadi maksud lo selama ini, sebelum ada olahraga ekstrem ini, lo gila?”

Hilang arah, gue benar benar nggak tau kemana pembicaraan Zetta ini akan berakhir. Tapi pada akhirnya gue tetap memberi jawaban terbaik menurut gue, “Gak gila, cuman, sebelum nemu olahraga ekstrem ini gue merasa sakit sampai rasanya pikiran gue udah hilang. Dan olahraga ini bikin gue sembuh. Dan lu emang harus sembuh dari apapun yang bikin lo sakit.”

Jawaban gue itu nggak dapat balasan, karena setelah itu Zetta melangkah lebih dahulu, balik meninggalkan gue. Membiarkan gue kebingunggan dengan tingkahnya.

Sampai jauh berjam jam setelahnya, setelah kami kembali ke dalam mobil gue untuk pulang ke Depok, dia menjawab kebingunggan gue.

“Gue sakit, semua orang nyakitin gue. Sembuhin gue, Jo, kayak paralayang nyembuhin lo.”

Dari situ, Zetta setuju untuk gue masuk ke hidupnya.

Temani


Sean Johnatan

Bokap gue bukan terlahir dari keluarga kaya raya, kalau kata Eyang gue, dulu keluarga mereka hanya keluarga dengan ekonomi menengah. Mereka selalu ada di tengah tengah, terjepit antara nyaris hidup mewah dan melarat di saat bersamaan. Berbekal rasa tak puas hidup biasa saja, Bokap memaksakan diri belajar bisnis. Masuk perguruan tinggi mengambil jurusan bisnis, lalu memulai perjalanan bisnisnya dari masa kuliah. Bertahun tahun bahkan sampai gue lahir, bokap masih sering merasakan kegagalan. Padahal usahanya cukup keras, ia sudah merelakan seluruh waktunya untuk bisnisnya, memangkas habis waktu yang ia miliki hanya untuk bisnis, bisnis dan bisnis.

Kesuksesan Bokap baru terwujud, pada usianya yang ke lima puluh. Kerja kerasnya terbayar, kini semua orang menganggapnya sukses menjadi pebisnis, tapi sayangnya, tak seorangpun menganggapnya berhasil membina rumah tangga.

Waktu Bokap yang memang hanya diperuntukan untuk bisnisnya membuat gue dari kecil nggak pernah deket sama dia. Yang gue ingat dari penggalan memori masa kecil gue hanya waktu ketika gue main sama nyokap. Satu satunya hal mengenai dia yang gue ingat saat kecil adalah, aroma tubuhnya yang selalu berada di dekat gue saat gue tertidur, kemudian hilang ketika gue terbangun.

Beranjak remaja, gue semakin lupa akan figurnya dalam hidup gue. Selama masa transisi ini, ketika gue sangat butuh banyak nasihat mengenai hidup, ketika gue butuh seorang penuntun, dia nggak pernah hadir di sana.

Hingga akhirnya ketika gue sudah dewasa, dan harus menentukan kemana hidup gue akan dibawa, dia baru hadir. Tiba tiba meminta gue untuk mengikuti langkah hidupnya, tiba tiba memaksa gue menjadi dirinya, tiba tiba mencoba berperan menjadi seorang ayah, ketika semuanya udah terlambat.

Saat itu gue memberontak. Gue nggak mengenal dia. Gue nggak mau mengikuti langkah orang yang gue nggak kenal. Gue nggak mau jadi orang yang gue nggak kenal. Dan gue udah nggak merasa kehadirannya penting dalam hidup gue.

Sialnya, pemberontakan ini menjadi jalan gue mengenal seseorang yang menyebut dirinya seorang ayah tapi bertingkah seperti monster. Dia memukul gue dengan ikat pinggangnya, dengan tega dia membanting tubuh gue dengan tangannya sendiri, bahkan meneriaki gue anak yang nggak tau diuntung. Bekas luka di tubuh gue bukan seberapa, tapi goresan di hati gue masih mengangga sampai sekarang, bahkan sampai malam itu.

Malam ketika gue melihat adik Zetta menangis dalam pelukan Zetta dengan wajah babak belur. Gue seakan ditarik mundur pada saat Bokap mukulin gue, gue merasa déjà vu. Tangis piluhnya, bekas lukanya, rasa sakitnya, hanya mengingatkan gue pada diri sendiri. Bedanya, dia punya Zetta yang dapat memeluknya, dan gue nggak punya siapa siapa untuk sekedar bersandar.

Gue masih ingat tiap inci kejadian di depan mata gue saat itu. Saat Zetta memeluk adiknya dengan begitu erat meski tangannya bergetar. Gue juga masih ingat ketika Zetta mengelus puncak kepala adiknya, sembari mengucapkan kalimat yang paling ingin gua dengar tiap gue merasa hal yang sama “Ada kakak di sini, Jio tenang aja.”.

Zetta begitu rapuh, adiknya tak kalah hancur, tapi mereka hanya memeluk satu sama lain selama bermenit menit, seakan pelukan itu dapat mengobati luka apapun yang mereka dapatkan.

Dan saat harusnya gue berempati, gue malah lebih dahulu iri. Pasti rasanya akan lebih baik, ketika jatuh tak sendiri tapi ditemani. Gue ingin ada yang memeluk gue seerat Zetta memeluk adiknya. Gue ingin ada yang menemani gue di titik terendah gue kayak Zetta ada buat adiknya. Gue ingin ada yang dapat mengobati gue kayak pelukan Zetta buat adiknya.

Gue ingin seseorang yang padanya gue bisa menyerahkan diri, menyembuhkan hati, juga mengistirahatkan jasmani. Gue ingin sosok seperti Zetta. Dan jika mungkin, gue ingin Zetta.

Jadi saat Zetta menanyakan, “Kenapa lo masih tetep ngedeketin gue?”

Adalah pertanyaan yang udah gue tau jawabannya dengan pasti. Gue menjawab dengan jawaban yang meringkas paragraf panjang dalam benak gue. “Karena gue butuh seseorang kayak lo.”

Zetta mengernyit, “Kayak gue?”

“Yang ngerti gimana rasanya sakit karna bokap sendiri.”

Mata Zetta membulat dengan wajah kaget yang kentara.

Diamnya membuat gue melanjutkan, “Selain itu, beberapa hari ketemu lo, semuanya seru. Kalau lo lupa, lo gak segalak ini sebelumnya.” gue mengalihkan topik, nggak terlalu minat untuk lebih lama menginggat bokap gue.

Tapi gue rasa Zetta masih memproses jawaban gue, karena dia masih terus terusan diam.

“Gue nggak ngerti maksud lo apa.” itu kalimat yang Zetta ucapkan setelah hening panjangnya.

Gue mengerutkan alis, sembari menyendokan sesendok bubur dengan santai, sebelum melanjutkan. “Lo ngerti, lo yang paling ngerti.” Dia menggeleng.

Gue udah memperkirakan ini, Zetta yang denial dan nggak akan mau mempercayai omongan gue. Dan gue juga sudah siap menelanjangi diri sendiri di hadapanya, menunjukan padanya kalau gue butuh sosoknya.

“Gue anak tunggal, semua ekspetasi bokap ditaruh hanya di pundak gue.” Gue mulai bercerita, “Bokap anak bisnis dan nggak pernah setuju gue masuk Hubungan Internasional. Dari situ dia mulai tempramen.” Hening kembali melanda. Zetta bahkan nggak mau menoleh ke gue kini, dia menunduk sembari mengaduk buburnya.

Sampai suaranya yang sedikit bergetar terdengar memecahkan keheningan “Lo nggak butuh gue, karena gue sendiri udah nggak sanggup, Jo.”

“Makanya jangan sendiri, gue bisa nemenin lo, lo bisa nemenin gue.” potong gue cepat.

“Enggak, Johnatan. Nggak ada yang bisa nemenin gue.” dia bersikeras.

“Kasih gue waktu 3 bulan.” Gue sendiri juga kaget dengan improvisasi yang gue buat, tapi gue nggak punya pilihan lain, karena Zetta kelihatan begitu menolak gue. “Dalam 3 bulan biarin gue nyoba buat nemenin lo. Kalau sampai 3 bulan menurut lo gue nggak layak bertahan, gue bakal beneran berhenti ngedeketin lo.”

Lagi Zetta menyisahkan hening di antara kami. Dari matanya gue bisa melihat begitu banyak keraguan.

“Sampai Ospek selesai.” Tawar gue mencoba meyakinkannya. “Lo cuman perlu jadi diri lo sendiri, tapi jangan larang gue ngedeketin lo.”

“Johnatan.” Kami bertatapan pada jeda yang ia beri, “Lo cuman buang buang waktu. Sampai kapanpun, mau berapa bulanpun, gue nggak bakal ngebiarin lo bertahan.”

Gue keras kepala. Sebelum perdebatan ini sesuai sama yang gue harapain, gue masih mau memaksa. “Kalau lo seyakin itu perasaan lo nggak bakal berubah, harusnya lo nggak perlu ngelarang gue.”

Dan Zetta selalu nampak malas berdebat. Ia sempat memejamkan matanya sebentar, sebelum kembali menatap gue dengan tatapan kesalnya. “Setelah tiga bulan, lo bakal pergi sejauh mungkin dari gue. deal?”

Gue mengangguk tegas.

leather jacket

Gabriella Clazetta

Ada beberapa detik yang terasa lebih lama, ketika mata gue nggak sengaja bertubrukan dengan sepasang mata coklat pekat di sebrang gue. Detik detik aneh yang membuat gue tersentak sebentar, sebelum gue mengalihkan tatapan gue. Cowok dengan leather jaket hitamnya dan topi berwarna senada, masih terus menatap gue dengan terang terangan.

Kalau nggak ingat ruangan ini dipenuhi oleh anggota panitia Ospek, mungkin gue udah menghantam cowok itu dengan bogeman mentah. Gue nggak pernah suka jadi perhatian, apa lagi yang merhatiin gue seorang buaya darat yang udah berkali kali gue tolak kehadirannya.

Sepanjang rapat pengenalan, dia masih terus memperhatikan gue, bahkan Kaylie yang duduk di samping gue sampai bisa merasakan tatapan itu. Tapi apa yang gue bisa lakukan di hadapan orang orang yang baru gue kenal ini? gue cuman bisa tersenyum sesekali ketika mata kami kembali bertemu. Gue nggak mau memperlihatkan sifat emosian gue di depan semua orang, seengaknya jangan di hari pertama kami berkenalan. Gue harus berpura pura sampai bisa diterima.

Sampai di akhir rapat pengenalan, ia berjalan mendekat ke arah gue. “Hai, Zet.” Sapanya, dengan lantang. Sekali lagi, lantang.

Gue bisa merasakan beberapa orang menghentikan aktivitas mereka, mungkin ingin tau, cewek seperti apa yang akan jadi target baru buaya ini.

“Hai, Johnat.”

Johnatan yang dari tadi memperhatikan gue nampak nggak peduli dengan wajah gue yang udah merenggut kentara.

“Kita ketemu lagi.”

Gue memutar bola mata malas, ‘ketemu lagi’ katanya seakan ini adalah pertemuan kebetulan yang kami berdua tidak prediksi sebelumnya. Padahal jelas jelas di obrolan kami melalui Twitter, dia sudah tau fakta ini.

“Seneng gak lo ketemu gue lagi?”

Apa dia gak bisa lihat seberapa tak bersahabatnya wajah gue sekarang?

“Perlu gue jawab?”

“Gak perlu, takut sakit hati.”

Basa basi yang basi banget ini ngebuat gue makin ingin cepat pulang. Gue bangkit berdiri, berniat pergi.

“Balik naik apa?”

“Mobil, Nat. Udah ah, awas.” Gue sedikit mendorong tubuh jangkungnya ke samping. Lalu mulai berjalan keluar dari ruang pertemuan mereka.

Entah dia memang inign pulang juga, atau hanya ingin mengikuti gue, yang jelas sekarang dengan langkah besarnya gue bisa merasakan kini langkah kami sudah beriringan.

“Mau gue anter, gak?” Tanyanya.

“Gue naik mobil, buset dah, mau lu anter gimana lagi?”

Johnat mengedikan bahunya santai, “Gue setirin pake mobil lo.”

Gue menatap dia jengah, “Nyape nyapein.”

“Buat lo mah, apapun gue lakuin.”

Huek.

“Lo mau ngalus kapan kapan aja deh, jangan sekarang, gue capek pengen balik.”

“Gue serius, lagi hujan deres juga di luar. Kalau lo takut nyetir pas hujan, gue siap nganterin.”

Gue sebetulnya memang takut menyetir di tengah hujan deras begini, tapi nyatanya itu masih mending dibandingkan harus diantar pulang oleh Johnatan lagi. Pengalaman pertama gue diantar pulang Johnatan, yang membuat dia tau semua, gue rasa cukup terjadi sekali. Gue nggak mau ada hal hal seperti itu lagi.

“Lo nggak ketemuan sama divisi lo?” tanya gue mengalihkan.

“Habis nganterin lo.”

Gue berhenti menatap dia kesal, “Gue gak mau dianter.” Tegas gue dengan nada galak.

Johnat tertawa, “Lucu.” Katanya sambil mengacak rambut gue.

Kalau lo pikir gue bakal berdebar karena kepala gue diusap sama Johnatan, maka tebakan lo salah besar. Daripada berdebar kini gue naik pitam.

“Rambut gue!” saking emosinya gue memukul dia.

Brak!

Cukup kencang…

Gue membulatkan mata, ikut terkejut mendengar dentuman yang begitu keras itu. Entah karena gue atlet taekwondo, pukulan yang gue kira kecil ternyata terdengar begitu kencang.

“Anjir, badan lu kecil kekuatan lu raksasa.”

Baru gue ingin mengelus lengan Johnatan, begitu mendengar ucapannya, rasanya gue mau memberikan dia pukulan kedua.

“Bacot.”

Gue melanjutkan langkah gue yang sempat tertunda, kini dengan langkah yang lebih cepat. memberikan jarak yang lumayan jauh dari cowok menyebalkan itu.

Namun langkah besar dari cewek 165 cm bukan hal yang sulit untuk dikejar Johnat yang gue perkirakan tingginya 180an. Kini dia sudah kembali melangkah tepat di samping gue, sambil tertawa. Dia sering banget ketawa, bukannya melarang orang lain bahagia, tapi tawa Johnatan itu terdengar mengejek.

Gue melirik sedikit ke samping, “Maaf.” Cicit gue pelan. Meski masih kesal pada tingkah menyebalkannya, gue tetap merasa bersalah.

Dari ekor mata gue, gue melihat dia menoleh dengan senyum, “Dimaafin, kalau gue anter pulang.”

Dan lagi si keras kepala ini berulah.

Selalu memanfaatkan rasa bersalah gue.

“Gak.” Putus gue tegas. Gue menghadapkan badan gue pada Johnatan, sembari menghentikan langkah gue tepat di pintu keluar sebelum memasuki parkiran yang diguyur hujan.

Johnat mengikuti gue, berhenti lalu memposisikan kita berhadapan.

“Johnat,” Gue menatap dia lelah. “Gue capek dan kurang nyaman kalau lo anterin pulang.”

Gue cuman bisa berharap cowok keras kepala ini mengerti kalau gue benar benar jengah seakrang.

Dia terdiam, hanya menatap gue untuk beberapa detik. Pada detik berikutnya, dia sudah melepaskan leather jaketnya, meraih tangan kanan gue yang bebas, kemudian meletakan leather jaketnya dalam genggaman gue.

Sebelum gue bertanya, dia udah lebih dahulu menjelaskan. “Jalan ke parkiran pakai ini, biar lo nggak basah banget.”

Kali ini gantian gue yang terdiam, memproses keadaan, juga perasaan gue yang … menghangat?

gue mendongkak ketika merasakan kepala gue kembali disentuh oleh telapak tangannya, dengan lebih lembut, bahkan gerakannya terasa seperti memperbaiki tatanan rambut gue.

“Cabut ya gue!” Dia kemudian kembali melangkah, “Hati hati!” tutupnya, sebelum berlari dengan cepat kebali ke ruang pertemuan kami.